Urang Zaman Duluk

Urang Zaman Duluk

Ahmadi Sofyan--

4. Nampel (silaturrahim)

“Nampel” adalah tutur lisan masyarakat Bangka yang bermakna mendatangi (silaturrahim) ke rumah tetangga, saudara, atau kenalan. Perilaku “Nampel” ini menjadi kebiasaan atau budaya yang memiliki nilai positif untuk kehidupan sosial kemasyarakatan. “Nampel” yang dilakukan masyarakat tempo doeloe tidak melulu ada kepentingan, tapi justru yang banyak adalah sekedar untuk menyapa dan semakin mengokoh ikatan kekeluargaan dan keakraban antar sesama. Tidak sendiri, seringkali membawa isteri, anak dan menantu agar saling mengenal. 

Bahkan para orangtua yang hendak mengundang tetangga, saudara atau kenalan, satu persatu rumah di-“tampel” (didatangi). Undangan lisan yang nadanya penuh pengharapan kehadiran adalah pengokohan kebersamaan, bahwa undangan bukanlah sekedar basa-basi belaka. Ketika ada riak perselisihan, nampel adalah salah satu cara penyelesaian. 

5. Petatah-Petitih (Nasehat Kehidupan dari Hati)

Petatah-Petitih berupa nasehat masyarakat tempo doeloe begitu mendalam dan mudah masuk ke dalam hati. Mengapa? Karena yang memberi nasehat berupa petatah-petitih itu juga dari hati, bukan sekedar otak dan bibir atau mulut bersuara. Orangtua yang ber-petatah-petitih kepada anak-anak dan isterinya. Kaum cendikiawan memberikan petatah-petitih kepada masyarakat awan, ulama tidak ceramah yang penuh heroik serta mengumbar humor-humor konyol, namun memberikan petatah-petitih yang penuh nilai dan makna bagi kehidupan. Oleh karenanya provokasi pada masyarakat kita tempo doeloe tidaklah mudah dilakukan, sebab orangtua, kaum cendikiawan, seniman, budayawan di kampung-kampung adalah selalu berusaha menjadi “lem perekat” bukan “sumbu kompor” yang dialiri minyak.

6. Saling Memberi Hasil Usaha/Masakan

Mengikat silaturrahim yang paling efektif adalah dengan memberi. Mungkin itulah pemahaman masyarakat tempo doeloe sehingga mereka rajin sekali dalam memberi. Tidak hanya tenaga (gotong royong), menyapa terlebih dahulu, mendahulukan orang lain, menyampaikan petatah-petitih, nampel (silaturrahim), tapi juga memberi materi sekedarnya. Berbagi hasil kebun sebagai bentuk syukur adalah kebiasaan masyarakat kita tempo doeloe. 

Bercocok tanam bagi masyarakat tempo doeloe bukanlah untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, tapi benar-benar untuk sekedar kehidupan. Jika ada lebihnya pastilah untuk berbagi kepada sanak saudara, tetangga dan kenalan. Bahkan tidak hanya hasil kebun, namun berbagi masakan kepada tetangga dan sanak saudara adalah kebiasaan kaum perempuan tempo doeloe. Kokohnya ikatan kebersamaan melalui berbagi ini membuat benturan kehidupan sosial menjadi mudah untuk kembali direkatkan.

***

NAH, bagaimana dengan kehidupan modern hari ini? Apakah ada yang merindukan nilai dan karakter kehidupan sosial masyarakat tempo doeloe? Kalau saya sih, Yess!

Salam Kerinduan!(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: