Polemik Stop Ekspor Timah?

Polemik Stop Ekspor Timah?

Safari Ans - Tokoh Pejuang Pembentukan Provinsi Babel. FOTO:doc--

Oleh: Safari Ans - Wartawan Senior & Salah Satu Pejuang Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

SECARA teoritik ekspor timah ke manca negara harus distop, manakala Indonesia mau memainkan peran penting dalam percaturan timah internasional. Sebab sudah lama Indonesia sebagai produsen balok timah selama ini hanya bagaikan sapi perah, tanpa hirau akan daerah tambang yang menghasilkannya. 

Maksud hati Presiden Jokowi, daerah Bangka Belitung bisa menghasilkan nilai tambah dengan stop ekspor timah lalu ditandak-lanjuti dengan hilirisasi timah. Hilirisasi timah di Babel adalah industrialisasi, dan pastilah industrialisasi teknologi tinggi (hi-tech industries).

Negara produsen timah besar dunia yang direken kalangan industriawan hanya dua negara. Tiongkok dan Indonesia. Tiongkok sudah lama tidak menjual timahnya ke luar negeri. Timah Tiongkok hanya semata untuk kebutuhan industri dalam negeri. Tetapi produsen yang membutuhkan timah Tiongkok diperbolehkan asalkan membuka pabriknya di negeri Tirai Bambu itu. Banyak kalangan produsen akhirnya membuka pabrik disana. Lalu, mareka juga wajib melakukan transfer teknologi. Sehingga masyarakat Tiongkok saat ini bisa membuat apa saja. Keberhasilan Tiongkok itu menarik perhatian Presiden Jokowi. Mengapa Indonesia tidak bisa begitu. Apalagi PT Timah Tbk anak perusahan negara, bisa disebut pemain tunggal dalam ranah ekspor timah ke pasar dunia.

Secara praktis, kini hanya Indonesia yang memasok pasar timah dunia yang setiap tahunnya berkisar 60.000 (enam puluh ribu ton). Ada negara lain, tapi dalam jumlah yang amat kecil. Tetapi anehnya, Indonesia bukan yang menentukan harga pasar timah dunia, justru malah London. Padahal kalau Indonesia setuju dengan ide Presiden Jokowi, stop ekspor timah, terpaksa cadangan timah dunia memenuhi pasar dalam rentan waktu paling lama 5 (lima) tahun. Artinya, kalau dalam lima tahun saja, Indonesia stop ekspor timah dunia, maka produsen elektronika dunia mati total.

Dengan begitu sebenarnya, Indonesia menjadi jantung bagi produsen elektronika dunia. Agaknya peran Indonesia ini, terbaca oleh Presiden Jokowi ketika Indonesia diminta persetujuan negara-negara produsen. Saat itu Presiden Jokowi menolak neken untuk menyuplai bahan mentah bagi industri dunia. Nah, ketika Indonesia menolak, negara lainnya pun juga tidak neken persetujuan itu. Kesan itu terbaca jelas oleh Presiden Jokowi. Bahwa Indonesia harus memainkan perannya sebagai negara penyuplai raw material industri modern sekarang ini.

Pasar Domestik

Logika yang berkembang kemudian, ekspor timah boleh distop tetapi jual-beli timah tetap berjalan sesuai dengan harga internasional, sehingga kegiatan ekonomi di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung tidak mati. Proses penambangan dan smelter tetap berjalan  dan didukung oleh program hilirisasi timah di daratan pulau Bangka dan daratan pulau Belitung.

Pemikiran  ini paling banyak diterima tetapi  muncul persoalan baru. Siapa yang beli timah di pasar domestik itu. Lembaga apa yang punya kemampuan membeli timah dalam setidaknya untuk stok lima tahun ketika kalangan produsen masih mempersiapkan pabriknya di Indonesia? Seberapa kuat permodalan untuk membeli 60.000 ton timah setahun dengan harga rata-rata USD 20.000 per ton atau setara USD 1,2 miliar (Rp 18 triliun) setahun. Modal yang harus disiapkan untuk lima tahun sekitar Rp 90 triliun. Belum terjawab.

Sebuah lembaga yang pernah berkedudukan di Hong Kong bernama International Fund for Indonesia Development (IFID) bersama konsorsiumnya (orang-orang beruang di luar negeri) bersedia mensupport PT Timah Tbk untuk menjamin pembelian timah Indonesia selama lima tahun itu asalkan memang hilirisasi timah dan pembukaan pabrik-pabrik baru kalangan produsen juga berjalan di Bangka Belitung. Dana yang dihimpun oleh IFID lebih dari cukup untuk mendukung program “Stop Ekspor Timah”.

Artinya, untuk menjalan program ini harus paralel dengan hilirisasi dan industrialisasi yang berlangsung di pulau Bangka dan pulau Belitung sendiri. Dan itu harus seirama pula dengan percepatan pembangunan Pembngkit Lsitrik Tenaga Thorium (PLTT) karena mutu listrik menjadi prasyarat negara produsen elektronik dunia. Dengan demikian program “Stop Ekspor Timah” tidak bisa berdiri sendiri. Sebab tidak mungkin asal stop tanpa memikirkan dampak ekonomi yang terlalu dalam pengaruhnya dalam kehidupan Babel maupun ekonomi nasional.

Semua ini memerlukan kecerdasan, kecepatan, dan ketepatan dengan melibatkan semua komponen bangsa. Termasuk kalangan akademisi harus ikut dilibatkan untuk melakukan kajian mendalam apa dan bagaimana melakukan stop ekspor timah serta dampaknya bagi perekonomian Bangka Belitung dan juga bagi perekonomian bangsa. Kajian-kajian seperti ini harus diseminasi secara komprehensif dan mendalam. Jangan asal jadi. Sebab ada kebiasaan buruk, dalam dunia kerja kita, mengabaikan kajian akademik. Padahal kajian akademik menjadi spektrum dan menjadi alat ukur apakah sebuah tindakan itu salah atau benar.

Reset Tata Kelola Timah

Permainan dalam dunia tambang hingga ke perdagangan timah sejak zaman kolonial, zaman kerajaan Palembang, hingga era kemerdekaan saat ini polanya belum berubah. Masih berbasis sindikat. walau kini bernama sindikat putih, bukan sindikat hitam. Sindikat berkerah yang mengatur mekanisme tambang, produksi, dan mekanisme pemasaran telah lama menguasai dunia timah. Mereka yang sebenarnya menikmatinya, bukan masyarakat Bangka dan Belitung. Perjalanan berabad-abad seperti itu, sudahilah. Malu kita dengan diri sendiri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: