Jen Ringem

Jen Ringem

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya-babelpos.id-

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

ADA orang yang riuh menyempurnakan kepalsuan. 
Ada juga orang yang tersembunyi dari keramaian
tapi menyempurnakan kesejatian.

BEBERAPA malam lalu, saya ngobrol seorang pejabat di Kepulauan Bangka Belitung. Kepada sang pejabat saya memberikan sedikit “nasehat” sosial dengan kalimat “jen ringem”. Sebab hidup menjadi apapun dan berprofesi apapun di dunia ini kuncinya adalah “nrimo” dengan ketulusan hati dan jangan terlalu ambil pusing dengan persoalan yang tak berkesudahan. Apalagi menghadapi “manusia-manusia setengah”. Sebab menurut pengamatan saya, di tengah kehidupan sosial kita saat ini, banyak nongol ke permukaan adalah manusia setengah-setengah. Ada yang setengah alim, setengah preman, setengah pintar, setengah sukses, setengah populer, setengah hati, setengah waras, setengah dewa, dan termasuk saya setengah penulis, setengah pengamat, setengah budayawan dan setengah gila. So, menghadapi hal yang demikian, jangan terlalu serius dan cukup gunakan otak dan energi setengah saja. 

Saat menulis ini saya sedang berada di sebuah warung kopi milik sahabat masa kecil saya ditengah-tengah Kota Pangkalpinang, tepatnya tak jauh dari Alun-Alun Taman Merdeka. Di warung kopi setengah café ini, saya ditemani riuh kendaraan lalu lalang dan muda mudi bahkan orangtua yang mengisi malam, saya tetap menulis sambil ngobrol ringan dengan sahabat sang pemilik Warkop. Dari kendaran yang lalu lalang, saya mendapat pelajaran penting bahwa hidup ini ternyata bagaikan berkendaraan di jalan raya. 

Saat berkendaraan di jalan raya yang kian hari kian berjubel, apalagi harga kendaraan murah meriah tanpa DP pun bisa bawa pulang roda 4, apalagi Cuma roda 2 dan roda 3. Berkendaraan di jalan hal yang sudah biasa kalau nyerempet atau setidaknya diserempet, tak dapat tempat parkir, macet dan mengalami kerusakan kendaraan akibat jalan yang kurang baik. Spion hilang, pentil ban lenyap, cat tergores, plat copot, adalah bentuk dan resiko yang bisa dialami oleh setiap pengendara. Jalan yang kita lalui pun tak selamanya mulus, sekali-kali kita berhadapan dengan lobang kecil maupun lobang besar menganga. Sekali-kali juga ban bocor karena paku, entah paku beneran maupun paku yang sengaja ditebarkan para “pengusaha tambal ban” di sepanjang jalan raya.

Bahkan di jalan tol sekalipun bukan berarti tak ada kemacetan, apalagi jalan tol di Indonesia. Begitulah kurang lebih hidup yang kita lalui di dunia ini. Misalnya di Jakarta, seringkali kita mengambil jalan pintas untuk menghindari kemacetan. Nyatanya di tengah-tengah jalan pintas tersebut justru terjebak macet. Ternyata yang berpikiran sama dengan kita juga sangat banyak. Pepatah Arab mengatakan: “Misluka katsiiir” (Orang kayak kamu itu buanyaaak).

Jalan raya bukan milik kita perorangan atau kelompok (kecuali group motor gede alias moge dan mobil mewah yang dikawal), sehingga kita tak bisa berkendaraan sembarangan, sak enak udel e dewe, atau “sekenek perot” (semaunya), begitupula kehidupan dunia secara sosial. Kadangkala kita memilih suatu jalan yang kita anggap bisa cepat sampai tujuan, nyatanya jalan tersebut harus terhambat karena sedang ada perbaikan, jembatan putus, ada demonstrasi, tawuran pelajar, pohon tumbang dan sebagainya. 

Di jalan raya antar pengendara tak saling tahu kemana tujuan dan tak mau tahu apa kita sedang terburu-buru atau tidak, sedang ada kepentingan yang genting atau tidak. Di jalan raya juga antar pengendara tak saling tahu apa isi dalam pikiran masing-masing. Ente sedang bermasalah di rumah tangga, dengan mertua, dengan atasan, rekan kerja atau dengan tetangga, masa bodoh. Begitupula dengan perjalanan “berkendaraan” kita dijalan raya bernama dunia. Apa saja yang kita lakukan tak selamanya berjalan dengan apa yang kita harapkan karena tak semua orang tahu apa yang telah dan akan kita lakukan, apalagi isi dalam kepala (pikiran) kita. Selanjutnya juga jangan pernah berharap bahwa apa yang telah kita lakukan semua orang memuji, menyetujui, senang atau berpikiran positif. Begitulah hidup dan hal demikian itu harus ada dalam hidup kita. 

Misalnya, dulu waktu saya dekat banget dengan Pak Zul (Zulkarnain Karim) saat masih menjadi Walikota, dibilang “Ahmadi sedang menjilat kekuasaan”. Ketika Pak Zul sudah tidak jadi Walikota dan bahkan mendekam dalam Lapas Tuatunu serta dirawat di Rumah Sakit, saya masih dekat dan terus mendampingi beliau, malah ada yang bilang: “Sok loyal” dan “Sok setia”. Selanjutnya ketika saya dekat dengan para Kepala Daerah lainnya malah ditanya: “Sedang nyari proyek apa lagi?”. Padahal seumur hidup belum pernah main proyek apapun, apalagi proyek di pemerintahan. Kalau saya berusaha untuk tidak kenal dengan pejabat malah disebut juga: “Sok jual mahal, emang kamu siapa?!”. Kalau saya terlihat akrab dan bersahabat dengan pengusaha Tionghua dibilang “Pro Tionghua” bahkan dulu pernah juga dikirimi SMS dengan kalimat: “anjing”-nya orang Cen (China/Tionghua)”, disaat saya menjauh seakan tak kenal dibilang “dasar rasis” dan “anti Tionghua”.

Kalau saya bergaya sedikit perlente dan suka gonta-ganti mobil kreditan, ada juga yang nuduh: “Pasti hasil menjilat duitnya pejabat anu, wajar saja!”. Tapi jika saya menampakkan kemiskinan dan diketahui ternyata memang tak punya apa-apa, malah disebut: “Kamu kok bodoh sekali, dekat dengan banyak pejabat dan pengusaha tapi nggak bisa ngambil kesempatan buat nyari duit”. Bahkan beberapa hari lalu, sahabat saya yang sekaligus pengusaha kirim WA yang isinya: “Harusnya kamu ini dari dulu sudah kaya raya, tapi kamu terlalu idealis”. 

Dulu, nama saya pernah ditarok menjadi pengurus Partai. Dengan santainya ada yang nyeletuk: “Sudah mulai ambisi meraih jabatan politik”. Kalau ternyata saya tidak berpartai malah dibilang: “Sok idealis sok independen! Emang kamu mau melakukan apa dengan idealisme dan independensi itu?!”. Kemaren lalu saya memilih untuk berkecimpung dalam sebuah organisasi, dibilang: “Sudah mulai sok ngatur-ngatur organisasi? Kami ini orang lama di organisasi ini sedangkan kamu itu anak kemaren sore!”. Kalau saya menolak ajakan untuk berorganisasi malah disebut: “Takut ketahuan kalau emang nggak bisa berorganisasi ya?!”. 

Kalau saya kumpul-kumpul dengan kawan-kawan pemuda, dibilang: “Udah mulai ngedeketin anak-anak muda, mau bikin gerakan? Mau persiapan nyari masa 2024?”. Kalau saya menjauh dan nyaris tak pernah kumpul malah dibilang: “Dasar eksklusif, maunya cuma kumpul dengan pejabat dan pengusaha saja!”. Dulu saya aktif banget mengkritisi masalah PLN yang kerapkali byar pet dan mendatangi kantor PLN di Babel ini. Ternyata ada juga yang dengan cerianya berkomentar dan: “Pengen jadi pahlawan kesiangan ya?”. Suatu ketika saya diam dan mencoba tidak pedulia alias “dak retak”, ternyata ada yang nyeletuk: “Udah kaya nih, dapat berapa duit dari PLN? Bagi-bagi dong… Kok nggak berani bersuara lagi!”.

Saat muka saya sering nongol di media, bikin konten youtube atau tiktok serta aktif di Instagram, ada yang bilang: “Pengen memenuhi hasrat populer, biar terkenal?!”. Tapi kalau lama tidak muncul, malah dibilang lagi “Udah nggak laku lagi ya? Kok hilang dari peredaran?!” Dulu saya menulis banyak buku biografi tokoh dan mendapatkan bayaran dibilang: “Dasar komersial”. Tapi saat tulisan saya beredar dan mengikhlaskan untuk tidak dibayar, dibilang: “Nggak rasional”. Kadangkala saya menulis kritis di media, malah disumpah-sumpahin “Hei, penulis sialan! Kalau nulis itu yang nyenengin hati orang (pembaca), jangan semaunya! Emang apa jasa kamu terhadap Bangka Belitung ini?!!”. Tapi disaat saya menulis hal-hal yang baik atau memuji seseorang dikata-katain lagi “Dibayar berapa sama si Anu, sampai begitunya memuji. Dasar penulis bermental penjilat!”. Wallahi, yang seperti ini sudah biasa mampir di Handphone dan bahkan langsung ke telinga saya. 

Tapi, intinya saya sangat bersyukur, ternyata mereka-mereka itulah orang yang benar-benar menyayangi saya dengan cara “mengklakson” sebagai pengingat agar saya tidak sembarangan “berkendaraan” di jalan raya Bangka Belitung tercinta ini. Karena hidup di dunia ini bagaikan berkendaraan di jalan raya, butuh rambu-rambu bahkan diklakson keras agar kita selalu waspada. Semakin lama berkendaraan di jalan raya, semakin panjang jalan yang kan ditelusuri, maka semakin banyak yang bakal kita temui. Ah, jadi ingat waktu masih kecil, Mak pernah mengingatkan: “Makin lame idup, makin banyek kek ditempoh” (semakin panjang usia, semakin banyak yang akan ditemui). So, apapun komentar orang, hanya satu cara menghadapinya: “Jen ringem!”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: