Maken Ulok

Maken Ulok

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya-babelpos.id-

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial

MAKEN Ulok adalah makanan yang paling enak dinikmati di Pulau Bangka dan hanya bisa dinikmati oleh orang asli Bangka. 

Kerapkali ketika menjadi narasumber dalam beberapa kegiatan, materi yang saya sampaikan selalu menggunakan istilah dalam bahasa Bangka, termasuk lebih dari 500 tulisan di media ini (Babel Pos) yang hampir semuanya adalah menggunakan istilah-istilah dalam bahasa tutur masyarakat Pulau Bangka. 

Dalam pandangan saya, bahasa itu adalah budaya leluhur yang harus dipertahankan. Termasuk bahasa tutur masyarakat Bangka Belitung, yang sejak tempoe doeloe itu bagi saya bukan sekedar bahasa tanpa makna. Semisal: “ngerapek, mantak, mantak igak, mati mantak, mantak malai, taipau, taipau madun, taipau begereng, langok, melengos, gelik yok, maken ulok dan lain sebagainya.

Dari beberapa hal tersebut diatas, menurut saya, fase penyakit pertama adalah “MAKEN ULOK”. Yakni penyakit senang dipuji bahkan mencari pujian tapi sangat marah bahkan dendam jika dikritik. Pada fase ini umumnya karena pengetahuan, pengalaman dan karya nyata masih sangat minim alias “agik mantak”, sehingga setiap apa yang dilakukan untuk sekedar mencari pujian dan mencari jati diri jika ia adalah anak muda. 

Naik sedikit dari fase “maken ulok” ini adalah “TAIPAU”. Perilaku “taipau” seperti sudah sangat mewabah diberbagai kalangan di negeri ini. 

Bahkan ada yang begitu kejam mengatakan “lom sah jadi urang Bangka Belitung mun lom taipau”. Sehingga wajar saja kalau kita temui pejabat taipau, polisi taipau, ustadz taipau, dosen taipau, PNS taipau, pengacara taipau, tentara taipau, guru taipau, aktivis taipau, penulis taipau dan lain sebagainya.

Dalam ilmu sosial ini bisa disebut sebagai kategori manusia berperilaku “kaget sosial”. 

Di kalangan pergaulan anak muda, “taipau” ini pun setidaknya terbagi menjadi 3 jenis, yakni: “taipau, “taipau madun”, “taipau begereng” alias “taipau permanen”. Ada benarnya juga jika Guru Besar Ilmu Psikologi UGM Yogyakarta, Prof. Djamaluddin Ancok, pernah mengatakan: “Sehari dak taipau ase gelugud baden”.

Jika perilaku “taipau” sudah berkarat, maka akan naik pada fase “Ngerapek/ngerapik”. Karena umumnya orang yang “taipau” lebih mengutamakan banyak gaya tapi cenderung tak banyak membuahkan hasil nyata alias “ngerapik”. 

Karena yang ada pada dirinya gaya lebih penting dari pada kualitas hasil. Makanya yang terjadi pada kehidupan kita saat ini dalam berbagai lini masih dalam tahap “ngerapik”. 

Secara garis besar kita masih sering menyaksikan berbagai kegiatan-kegiatan “ngerapik” akibat para pelaku kegiatan terutama pemerintah banyak yang “ngerapik”.

Berbagai kegiatan lebih cenderung mengejar “wah” dan sekedar menghabiskan kegiatan (daripada nggak ada kegiatan) ketimbang kualitas kegiatan dengan menghambur-hamburkan uang (menghabiskan anggaran akhir tahun). 

Yang penting kelihat hebat, padahal nggak ada isinya, yang penting bungkusnya, gayanya, wah-nya, dan hal-hal yang sama sekali tidak menyentuh pada kebutuhan dan kepentingan masyarakat secara umum. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: