DEMOKRASI DITENGAH POLITIK BRUTUS-ISME

Senin 23-09-2024,07:22 WIB
Reporter : Saifuddin
Editor : Jal

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Penulis Buku : Poltiik tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi

___________________________________________

PASCA PILPRES 2024 tentu bukanlah akhir dari perjalanan demokrasi di Indonesia, berbagai dinamika dan fenomena yang mewarnai jalan politik yang berliku atau yang kita kenal dengan istilah labirin politik. Situasi saling gasak dan saling menyandera semakin nampak dipermukaan. Fenomena ini sepertinya sulit terbantahkan---bagaimana koalisi itu terbentuk sebagai kaukus kekuatan politik untuk dijadikan sebagai instrumen memenangkan sebuah pertarungan kontekstasi politik disemua level event politik.  

Terkait politik sandera---sebagai upaya untuk “mengurung ketua partai” dalam lingkaran kepentingan tentu menjadi sangat efektif bagi kekuasaan untuk menderek sekaligus mendikte ketua-ketua partai yang bermasalh secara hukum. Sehingga tidak ada alasan bagi mereka untuk tidak memberikan dukungan secara politik yang diinginkan kekuasaan. Ini sebuah kenaifan ketika partai politik harus menyerah dan menjual ideologinya demi kepentingan politik kekuasaan. 

BACA JUGA:Aksi Kemanusiaan PMI Babel dalam Mitigasi Krisis Iklim, Nyawa Pasien DB Banyak Terselamatkan

BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?

Fenomena ini terus menjadi tontonan menarik dalam ruang demokrasi, setelah saling menyandera, kini sepertinya saling memenggal. Bagaimana Airlangga dipenggal ditengah jalan karena ditengarai adanya tekanan secara politik, karena Airlangga dianggap akan sangat berbahay ditubuh koalisi karena Golkar adalah runner up di pileg, sehingga potensi ini memungkinkan Golkar akan memberi pengaruh terhadap perjalanan pemerintahan yang akan datang. Mundurnya Airlangga bukan hanya karena tekanan secara politik tetapi juga karena adanya kasus hukum yang mendera. Situasi ini kemudian lewat “brutus” Golkar pun goyang, dan harus mendaulat Bahlil Lahadalia di Munas Golkar. 

Golkar mengalami distorsi---berbagai dinamika kemudian mengirinya, hingga ada kelompok yang memprotes keterpilihan Bahlil sebagai ketua umum Golkar karena dianggap cacat konstitusi, yang seharusnya agenda  Munas Golkar sesuai AD/ART seharusnya di bulan Desember 2024. Artinya Golkar tentu sedang tidak baik-baik saja, dengan adanya berbagai kemungkinan yang akan muncul. (1) Golkar tetap eksis sebagai partai besar, tetapi dinamikanya akan terus berkembang seiring dengan mundurnya Airlangga di tengah jalan. 

(2) Tentu akan memunculkan berbagai perspektif tentang Bahlil, apakah ini murni dari dorongan kader atau ada pihak lain dibalik itu. Kisah “Brutus” sepertinya akan mewarnai jalan liku politik Golkar pasca 20 oktober 2024. Kalau kemudian “tangan lain” itu muncul maka Golkar akan mengalami kegoncangan secara internal, dan bisa-bisa menyebabkan terjadinya distrust publik. Karena Golkar (akan tertuduh) sebagai partai kaki tangan penguasa lewat Brutusisme. 

BACA JUGA:Keterampilan Esensial Seorang Akuntan agar Sukses di Era Digital

BACA JUGA:Pemanfaatan IPAH Sebagai Solusi Kekurangan Air Bersih di Desa Saing

Brutus in the palace circle.

Berbagai pertanyaan yang akan muncul setelah Golkar mengalami “pembonsaian” apakah dilingkaran istana ada Brutus? situasi politik saat ini semakin memperlihatkan berbagai prilaku Brutus yang menikam kawan politik dari dalam. (mungkin) Airlangga mengalami hal serupa di tubuh Golkar---bukan alasan untuk fokus sebagai menteri, sangat spekulatif. 

Kategori :