Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku ; Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Kekuasaan
_______________________________
MUNGKIN ada benanrnya pernyataan sang filsuf terkait masalah politik di era modern, seperti Mark Twin, secara praktis bahwa banyak yang masuk dalam arena politik tetapi hanya sedikit saja yang memahaminya. Politik memang terkadang memantik kemanusiaan kita untuk melibatkan diri. Yah, benar apa yang dikatakan oleh Plato, bahwa politik itu adalah ilmu yang paling tertinggi dibanding dengan ilmu-ilmu lainnya. Hal inilah yang kemudian mendorong sebagian orang berani mengambil resiko dalam kehidupannya karena politik menggiringnya dalam frame praktik politik.
Di banyak kalangan perempuan hanya di pahami sekedar urusan rumah tangga, dapur dan kasur, mengasuh anak-anak dan melayani suami, lebih dari itu perempuan terkungkung dengan adat istiadat serta pranata sosial lainnya. Yah, inilah yang disebut sebagai patriarkisme. Namun seiring dengan perkembangan zaman dengan saintek serta transformasi media sosial lainnya turut memberi pengaruh terhadap kehidupan manusia tak terkecuali bagi kehidupan perempuan. Pergerakan kesetaraan gender bagi kaum perempuan telah membuka ruang bagi kaum hawa untuk “merebut ruang ekspektasi”.
BACA JUGA:Green Leadership untuk Generasi Mendatang
BACA JUGA:Optimalisasi UMKM Keberlanjutan
Dalam perspektif sosial tentu ini menjadi perbincangan yang menarik mengingat posisi perempuan selalu menjadi nomor dua dari kaum lelaki. Perempuan selalu menjadi inferior bagi superioritas kaum pria. Gerakan gender bukanlah satu gerakan yang utopis, sebab gerakan ini bukanlah gerakan “melawan takdir”, akan tetapi gerakan ini lebih pada rasa keadilan dan kemerdekaan bagi kaum perempuan dan kehidupan sosialnya. Yah, begitu banyak persepsi posisi perempuan baik dalam pandangan sosial maupun dalam pandangan agama. Bagi kaum konservatif membilangkan bahwa kalau melawan tradisi untuk dikatakan modern, maka aku memilih untuk tidak modern.
Perempuan yang dikenal tertutup, bukan hanya pada aspek pakaian, namun sikap, pribadi, perilaku, keseharian, adalah menjadi petanda bahwa “perempuan berdiam diri” dalam mempertahankan dirinya dari lingkungan dimana ia melakukan proses kehidupan. Tentu agama melihat demikian, bahwa seorang perempuan tidaklah keluar rumah tanpa seizin suaminya. Ruang sosial dengan perkembangan media sosial telah memaksa kaum perempuan “membuka dirinya” dihampir semua lingkungan kehidupannya. Mulai dari gaya hidup (style), pergaulan, perilaku serta sampai kepada ranah publik yang lebih luas. Mitos perempuan sebagai pembuka pintu bagi suaminya mulai terkikis oleh zaman, gerakan gender telah memberi ruang bagi perempuan untuk mengambil posisi penting dalam kehidupan sosialnya.
BACA JUGA:PESTA, SIMULACRA DAN DEMOKRASI
BACA JUGA:Kepemimpinan Kepala Sekolah Dalam Menyelamatkan Keberlangsungan Sekolah Swasta
Merespon hal tersebut, Huzaima bin Kaab di zaman Rasulullah telah berjuang walau ia terbunuh dengan 16 anak panah menancap di tubuhnya. Di tahun 1974 di era politik modern telah tampil Isabel Peron, presiden pertama wanita dari Argentina yang terlibat dalam gerakan melawan Juntah Militer yang menewaskan kurang lebih 30. 000 warga Boaines Aires di culik dan dibunuh. Sederet nama seperti Mantan Perdana Menteri Inggris Margareth Theacher yang dikenal wanita bertangan besi, ada Benazir Butho di Pakistan, Bahkan sampai saat ini asa perdana menteri Singapore Salmah Yakub dan masih banyak yang lainnya. Bagi konteks Indonesia tentu beberapa nama menjadi inspiring bagi kaum perempuan untuk hadir di panggung politik baik itu lokal maupun nasional.
Nama Cut Nyak Dien, RA Kartini, Cut Meutiah, adalah secuil nama yang telah memberi warna perjuangan di republik ini. Megawati Soekarnoputeri puteri mendiang Ir. Soekarno presiden pertama Republik Indonesia tak dapat dipungkiri bahwa sosok Megawati adalah presiden wanita pertama di politik modern Indonesia. Nah. Sejalan dengan transformasi demokrasi di Indonesia kaum perempuan telah memilih panggung politik untuk sebuah jalan perjuangan.
Makna panggung tidaklah sama dengan “panggung konser musik” dimana goyangan para penyanyinya terlihat molek dengan solek yang seronok. Tetapi panggung politik adalah haruslah dipandang sebagai arena kontekstasi inferioritas merebut takdir kekuasaan. Walau memang undang-undang politik belum begitu adil bagi kaum perempuan yang membuat regulasi 30 persen keterwakilan politik di parlemen, walau kenyataannya baru mencapai 12 persen, ini tentu tidak sebanding dengan jumlah pemilih perempuan di banding dengan pemilih kaum laki-laki.