Batin Tikal Serahkan Kepala Residen Bangka, M.A.P Smissaert ke Sultan Palembang

Jumat 13-10-2023,01:33 WIB
Reporter : Admin
Editor : Admin

Dalam Carita Bangka Semaian 2 dinyatakan:

“Maka di dalam waktu ini tempoh jadi residen Bangka Tuan Smitsar kembali dari Pangkal Pinang, jalan darat lewat di tanah Djeroek dimana dekat kampung Poeding. Di situ suruhan dipati Barin dengan demang Singayudha bunuh itu tuan residen Bangka nama tuan Smitsar dan kepalanya batin Tikal dari bangka Kota bawa kasihkan kepada sultan Palembang” (Wieringa, 1990:122). 

BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Lima)

''Batin Tikal menyampaikan kepala M.A.P Smissaert kepada sultan agar sultan Kesultanan Palembang membantu mereka berperang melawan Belanda.  Tetapi sultan Palembang tidak dapat membantu karena pada saat bersamaan Palembang juga sedang berperang. Akan tetapi sultan berjanji membantu dengan menaikkan harga beli Timah yang dijual ke sultan sebesar 9 ringgit Spanyol sepikul selama 3 Tahun,'' ujarnya.

BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Enam)

Untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka, pasukan militer Belanda harus melakukan beberapa kali penyerbuan. Pasukan militer Belanda di Bangka adalah pasukan militer yang telah terlatih dalam perang di Palembang (Elvian, 2016:23). Serangan atau penyerbuan pertama dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1819 Masehi, dilakukan melalui darat dan melalui laut dipimpin oleh Kapten Ege, kemudian pada bulan September Tahun 1819 terjadi serangan kedua dan terjadi pertempuran besar-besaran di Koeboebangka atau Bangkakota. Pada waktu itu Bangkakota diserang oleh pasukan Belanda dari darat dipimpin oleh Kapten Laemlin yang membawa pasukannya sekitar 230 prajurit dari distrik Pangkalpinang dan memulai serangan pada tanggal 14 September 1819, sedangkan serangan dari laut dilakukan oleh pasukan Belanda dengan empat buah kapal perang di bawah pimpinan Kapten Baker.

BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Tujuh)

Dikatakan Elvian lagi, Pada serangan pertama dan kedua pasukan Belanda terhadap Koeboebangka atau Bangkakota, pasukan Belanda mengalami kekalahan yang sangat memalukan dan harus kembali ke Kota Muntok dan Kota Pangkalpinang. Berdasarkan catatan Belanda dikatakan, bahwa dari pihak Belanda tewas sebanyak 4 orang, 19 terluka, seorang perwira dan 45 prajurit mengalami kelaparan, 2 perwira dan 63 prajurit mengalami sakit, total 50 persen pasukan tidak mampu bertempur (Santosa, 2011:134). Satu hal yang tidak masuk akal dan mencengangkan, bahwa dalam laporan tersebut penyebab kekalahan 230 prajurit terlatih dari Eropa tersebut dikarenakan kelelahan dan terkena serangan penyakit (demam Bangka) serta kelaparan. Sungguh merupakan suatu cerita yang tidak masuk akal.

Karena minimnya persenjataan, dalam pertempuran selanjutnya Koeboebangka (Kotabangka) atau Bangkakota pada bulan Oktober Tahun 1819 Masehi dapat dikuasai oleh pasukan Belanda. Koeboebangka (Kotabangka) kemudian dibumihanguskan oleh pejuang rakyat yang kemudian menyingkir ke arah Utara melewati sungai Selan dan sungai Menduk menuju Kotaberingin (Kotawaringin), serta sebagian pasukan menyingkir ke Selatan menuju Nyireh (sungai Nyireh) dan hampir mendekati desa Pergam sekarang. 

BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Delapan)

''Untuk menumpas perlawanan rakyat Bangka yang lari dari Koeboebangka atau Bangkakota ke Kotaberingin (Kotawaringin), pada bulan Maret Tahun 1820 Masehi, Letnan Reisz melancarkan serangan dengan membawa pasukan dari distrik Pangkalpinang. Sedangkan serangan dari laut dipimpin oleh Letkol Keer dan Raja Akil (Mayor Akil) dari Siak. Setelah pertempuran yang sengit, Kotaberingin berhasil diduduki pasukan Belanda dan Demang Singayudha serta Juragan Selan pemimpin perlawanan rakyat, gugur di medan pertempuran,''' cerita Elvian lagi.

Tampaknya peristiwa, pembunuhan terhadap residen Belanda Smissaert pada tanggal 14 November 1819 di dekat sungai Buku, perbatasan antara Desa Zed dan Desa Puding, menyebabkan dua tokoh yaitu Demang Singayudha dan Juragan Selan menjadi target utama pasukan militer Belanda, sementara Bahrin yang menyuruh melakukan pembunuhan dan Batin Tikal yang membawa kepala residen Bangka dari Bangkakota kepada sultan Palembang berhasil menyelamatkan diri ke wilayah Djeroek. 

Perlawanan rakyat Bangka terus dilakukan oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828), Batin Tikal dan bersama panglima Tjekong Moenjoel dan dua putera Demang Singayudha yaitu Djamal dan Djaja. Depati Bahrin beserta Batin Tikal dan pejuang-pejuang lainnya melakukan perang gerilya yang terus berpindah-pindah dari Koeboebangka atau Bangkakota ke Kotaberingin dan Nyireh terus ke daerah Jeruk (sungai Jeruk). Dr. F. Epp seorang ahli kesehatan bangsa Jerman yang pernah berkunjung ke Bangka dan bertemu dengan Depati Bahrin dan keluarganya:

”Depati Bahrin menunjukkan dirinya sebagai pemimpin gerilya yang ulung; Ia dan puteranya, Depati Amir, selalu dapat menghilang, bilamana mereka terdesak.'' (Epp, 1852:219).(red)

 

Kategori :