BABELPOS.ID.- Meskipun Tahun 1816 berdasarkan Traktat London, Kerajaan Belanda kembali berkuasa atas Pulau Bangka, namun perlawanan para pejuang daerah ini tak pernah surut.
Belanda saat itu, ingin memperbaiki kondisi keuangan Kerajaan Belanda yang porak poranda akibat perang di Eropa. Sehingga Tahun 1819 Masehi dikeluarkan Tin Reglement yang berisi: Penambangan Timah di Bangka langsung berada di bawah wewenang dan kekuasaan residen; Timah adalah monopoli penuh Belanda dan tambang Timah partikelir dilarang sama sekali beroperasi.
BACA JUGA:Karomah Batin Tikal
Sejarahwan dan Budayawan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Dato' Akhmad Elvian, DPMP Tin Reglement, itulah yang memicu berbagai perlawanan rakyat Bangka. Pada bulan Mei 1819 kepala-kepala rakyat di Koba, Toboali, Keppo dan Djebus menyerbu parit-parit Timah milik Belanda. dan kemudian merebut kembali Toboali dari tangan Belanda.
''Serangan terhadap Koba, Toboali, Keppo dan Djebus oleh rakyat Bangka digambarkan oleh P.H. van der Kemp tentang masa setelah pengambilalihan Belanda atas Pulau Bangka dari tangan Inggris dan masa-masa awal kekuasaan Belanda di Pulau Bangka,'' ujarnya.
BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang dari Kampung Gudang (Bagian Satu)
Menurut Elvian, situasi saat itu tergambarkan dalam cerita Van Der Kemp dalam bahasa Belanda, yang terjemahannya:
''Inspektur Jenderal (residen) Smissaert dalam suratnya yang tertanggal pada 12 Maret 1817, sebuah situasi yang tidak menyenangkan terjadi di beberapa bagian wilayah pedalaman Banka, para kepala rakyat yang disebut dengan batin, menolak semua perintah Inspektur atau kepala distrik Koba, yang terletak di sisi Timur pulau Bangka. Mereka menentang secara terbuka pemerintah. Keadaanpun semakin memburuk; bahkan pada tanggal 15 Mei 1819, distrik pertambangan Toboali, yang terletak di sisi Selatan, diserang. Pemberontakan terjadi di sana disebabkan oleh sikap sang komandan yang gigih di wilayahnya, Letnan Dua Bury, dengan 40 orang pasukannya, berusaha mempertahankan wilayah dan jabatan yang dipercayakan kepadanya, dan kemudian mundur ke Pangkal-Pinang, salah satu wilayah yang telah Ia jelajahi. Beberapa hari kemudian, Kappo (maksudnya Kepoh), yang dekat dengan Toboali, diserang, tetapi serangan dapat dipertahankan oleh kepala pasukan di sana, Kapten Chiuese. Serangan Ketiga kalinya juga terjadi pada bulan Juni terhadap wilayah di distrik Djeboos, tetapi musuh ditangkap oleh salah satu pasukan bersenjata kami," (Kemp, 1900;544-545).
BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Dua)
Saat itu, menurut Elvian, tokoh-tokoh pemimpin perlawanan rakyat Bangka yang memimpin perlawanan adalah Depati Bahrin seorang Depati di wilayah Djeroek, Batin Tikal di Gudang dan Demang Singayudha serta Juragan Selan di Kotaberingin.
''Puncaknya perlawanan adalah pada Tanggal 14 November 1819, Residen Bangka, M.A.P Smissaert mati dibunuh di sungai Buku, perbatasan antara kampung Zed dengan kampung Puding, pada saat M.A.P Smissaert perjalanan pulang inspeksi dari distrik Pangkalpinang menuju ibukota keresidenan di Mentok,'' ujar Elvian kemudian.
BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Tiga)
Tandunya yang dipikul oleh 8 orang beserta seorang mandor dan seorang Opas disergap oleh Demang Singayudha, atas perintah Depati Bahrin. M.A.P Smissaert, melawan dan menembakkan 2 pistolnya, satu pistolnya macet dan satu pistolnya mengenai mandornya sendiri sementara kelewangnya telah dibawa lari oleh opasnya.
BACA JUGA:Batin Tikal Pejuang Dari Kampung Gudang (Bagian Empat)
''M.A.P Smissaert tertembak kakinya berusaha melarikan diri akan tetapi kemudian ditangkap, kepalanya dipenggal dan ditancapkan pada ujung sebatang kayu, lalu diarak keliling kampung Puding,'' ujar Akhmad Elvian lagi.