Jelang Ramadhan, Belanda Membujuk Depati Bahrin, Menipu Pangeran Diponegoro...

Jelang Ramadhan, Belanda Membujuk Depati Bahrin, Menipu Pangeran Diponegoro...

Depati Bahrin-Dok-

PASUKAN militer Pemerintah Hindia Belanda dalam rangka menyelesaikan berbagai konflik dan perlawanan rakyat pada kerajaan-kerajaan tradisional di Nusantara sekitar Abad 18 dan 19 Masehi, di samping ditempuh melalui kekuatan militer bersenjata juga dilakukan dengan siasat melalui perundingan atau diplomasi. 

------------------------

PERUNDINGAN yang dilakukan oleh pasukan Belanda umumnya dilakukan di awal atau penghujung bulan puasa Ramadhan. Pangeran Diponegoro misalnya, pada tanggal 21 Februari 1830 atau Empat hari menjelang bulan puasa yaitu pada hari Ahad, Tanggal 27 Syakban 1245 Hijriah, tiba di Menoreh, Bagelen (kini masuk wilayah Purworejo) untuk mengadakan perundingan dengan perwakilan Gubernur Jenderal sekaligus pejabat militer Belanda, Hendrik Markus Baron De Kock. 

BACA JUGA:Aik Bukuk dan Dipenggalnya Kepala Residen Belanda, Smissaert, Atas Perintah Depati Bahrin

Berhubung De Kock masih berada di ibukota Batavia, Pangeran Diponegoro dan pasukannya kemudian bergerak menuju Magelang, tepatnya di Matesih, dekat Kali Progo, Pada 8 Maret 1830 atau bertepatan dengan Tanggal 13 Ramadhan 1245 Hijriah. Pada hari Ahad, Tanggal 28 Maret 1830 atau bertepatan dengan Tanggal 3 Syawal 1245 Hijriah ketika sedang melakukan perundingan di Magelang, Diponegoro ditangkap.  

Sejarawan Peter Carey yang menulis sejarah Diponegoro dalam bukunya Takdir, Riwayat Pangeran Diponegoro (1785-1855) menyebut peristiwa itu dengan: "Bulan Puasa yang Tak Biasa". 

Panggeran Diponegoro ditangkap dengan licik antara lain oleh pasukan yang dipimpin oleh Louis Du Perron yang pernah berpengalaman menjadi pimpinan pasukan infanteri Legiun Mangkunegaran ketika berperang melawan rakyat Bangka dalam perang yang dipimpin oleh Depati Bahrin (Tahun 1820-1828 M), waktu itu Louis Du Perron masih berpangkat Kapten. Letnan Kolonel Aukes dalam bukunya Het Legioen Van Mangkoe Nagara mencatat, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda G.A.G.Ph. Van der Capellen pada tanggal 28 Maret 1820 Masehi mengeluarkan besluit Nomor 10 yang memerintahkan pengiriman Detasemen Kaveleri Legiun Mangkunegaran ke Pulau Bangka. 

BACA JUGA:Repotnya Belanda Lawan Depati Amir, Sampai Bumihanguskan Beberapa Kampung

Dalam laporan tanggal 10 Mei 1820, De Kock menjelaskan disiapkan kapal Minerva untuk mengangkut kontingen Legiun Mangkunegaran dari Semarang-Bangka (Mentok). De Kock memberikan rincian personalia kontingen Legiun Mangkunegaran yang dikirim yakni seorang Letnan Dua bangsa Eropa dari Batalyon Infanteri ke-22 sebagai penanggung jawab administrasi, seorang Ritmeester (Kapten Kavaleri), seorang Letnan Satu dan seorang Letnan Dua, seorang Kapten Ajudan, 63 bintara dan tamtama. Mereka dibekali 54 buah pedang kavaleri, 62 pucuk pistol, dan 310 kotak amunisi, 62 setel jaket militer dan celana. 

Sedangkan kontingen infanteri dari Batalyon ke-21 terdiri atas seorang Kapten, seorang Letnan Satu dan tiga Letnan Dua, seorang Sersan Mayor, empat Sersan Eropa, delapan Kopral Eropa, seorang Letnan Dua Bumiputera, 131 bintara dan tamtama Bumiputera. Keseluruhan ada 151 personel infanteri (Santosa, 2011:136-137). 

Pada Tahun 1828 Masehi Pemerintah Hindia Belanda di Batavia mengutus seseorang jururunding bernama Launy untuk melakukan perundingan dengan Depati Bahrin dan Pemerintah Hindia Belanda berjanji memberikan kompensasi gaji atau tunjangan sebesar 600 gulden setahun kepada Depati Bahrin apabila menghentikan perlawanan kepada Pemerintah Belanda. 

Belanda menawarkan perundingan kepada Bahrin karena ingin lebih berkonsentrasi menghadapi Perang Diponegoro di Pulau Jawa Tahun 1825-1830 M (Elvian, 2006:13).  Dengan menggunakan hak exorbitante rechten yaitu hak Pemerintah Belanda untuk menindak setiap orang yang menghalangi upaya penjajahan, termasuk  hak  untuk mengasingkan  atau membuang para  pemimpin  perlawanan ke  daerah-daerah lain di wilayah jajahan Kerajaan Belanda dan ke wilayah lain di Hindia Belanda. 

BACA JUGA: Depati Amir Diblokade Ketat: Niat Memandang Pulau, Sampan Ada, Pengayuh TidakG

Pangeran Diponegoro kemudian dibawa ke Batavia (dipenjara di Stadhuis, sekarang Kota Tua Jakarta), kemudian diasingkan ke Manado, Sulawesi Utara, dan kemudian dipenjara di Fort Rotterdam Makasar dan kemudian meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan pada Tanggal 8 Januari 1855.(Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP/Sejarawan dan Budayawan/Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia/BERSAMBUNG)***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: