Begitu usai dan kalah, maka yang dihitung bukan kalah adu program, bukan pula kalah strategi, tapi kekalahan itu dianggap karena finansial yang disebar kurang banyak dari kandidat yang menang. Jadilah akhirnya kekalahan itu disertai dengan pengakuan kalah dalam finansial. Tak pernah ada pengakuan kekalahan karena memang kandidat yang lain jauh lebih baik.
Lagi-lagi mengukur hati rakyat dengan finansial.
Begitu materialistiskah rakyat negeri ini seolah dalam setiap pesta demokrasi mengukur suara rakyat dengan kesiapan memberi mereka apa?
Apakah memang sebegitu parah? Atau, perilaku rakyat itu sesungguhnya adalah cerminan dari karena sudah tak percaya lagi dengan siapapun yang bakal jadi pimpinan nantinya?
**
PESAN bijak dari A France, lebih baik mengerti sedikit daripada salah mengerti.
Sebenarnya, dalam setiap menyalurkan aspirasi dan suaranya, rakyat tetap menggunakan hati nurani. Barang atau uang yang diterima justru menjadi bahan pertimbangan dan logika kemana suara akan diberikan. Ingatlah, rakyat ketika menuju ke Tempat Pemungutan suara (TPS), tentu sudah ada tekad dan keinginan untuk memilih siapa?
Saat inilah beras, kain sarung, kaos, mukena, atau uang memang terngiang kembali. Tapi, akal sehat dan nurani saat perenungan tetap murni.
Bertanyalah mulai sekarang, bisakah aku merasuk ke hati nurani rakyat?
Biarlah hati nurani juga yang menjawabnya.***