Sementara itu, Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Peningkatan Kualitas Manusia, Ristek, dan Inovasi, Carmelita Hartoto menyatakan, persoalannya, penyerapan timah logam untuk kebutuhan domestik masih sangat kecil.
''Memperlihatkan adanya kesenjangan antara industri hulu dengan hilir,” ujar Carmelita Hartoto.
Karenanya, Carmelita Hartoto meminta pemerintah memastikan kapasitas serapan bahan baku optimal. Sebab, peningkatan infrastruktur hilirisasi dapat dilakukan untuk menjamin kegiatan nilai tambah dalam negeri.
“Pemerintah bisa memberikan sejumlah insentif seperti pembebasan pajak dan mempermudah perizinan operasi bagi perusahaan luar dan dalam negeri,” katanya.
Sementara itu, Direktur Industri Logam Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Liliek Widodo mengatakan, dengan adanya rencana larangan ekspor timah, industri di tanah air harus mulai bersiap.
“Ada beberapa industri yang bisa menyerap. Salah satunya PT Timah,” ujar Liliek Widodo.
Pada saat ini, lanjut Liliek, Kemenperin dan Kementerian ESDM sedang membahas industri-industri yang bisa menyerap timah. “Seperti yang ada di Semarang, mungkin belum semua,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memastikan akan mengantisipasi dampak larangan ekspor bahan mentah timah pada akhir tahun ini.
Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Ridwan Djamaluddin mengatakan, mitigasi dampak pertama adalah memastikan adanya investasi agar pengolahan bahan tambang di dalam negeri berjalan maksimal.
Kedua, dari aspek teknologi. Menurut dia, pengolahan komoditas tambang bukanlah sebuah rocket science sehingga Indonesia seharusnya tidak lagi terlalu banyak bergantung kepada negara lain dari aspek teknologi.
Ridwan membeberkan, dalam 10 tahun terakhir, terjadi peningkatan transaksi perdagangan timah logam domestik dari 900 ton menjadi 3.500 ton. Angka tersebut hanya sekitar 5 persen dari produksi logam timah nasional. Jadi, belum bisa menyerap seluruh produksi nasional.(red/jpnn)