Istana yang Berpesta, Rakyat yang Merana: Ironi HUT RI ke-80

Istana yang Berpesta, Rakyat yang Merana: Ironi HUT RI ke-80

Handika Yuda Saputra --Foto: ist

Di titik ini ingatan pada Soe Hok Gie kembali relevan. Ia mengingatkan bahwa bangsa ini akan hancur bila nurani pemimpinnya mati. Bila pesta lebih penting daripada mendengar jeritan rakyat, bila panggung lebih dihargai daripada perut kosong yang menanti, maka kita sedang merayakan kemerdekaan yang semu.

Namun tulisan ini bukan sekadar keluhan. Ia adalah seruan untuk kembali ke inti: bahwa kemerdekaan sejati bukan soal pesta, melainkan soal keberpihakan. Negara harus berpihak pada mereka yang paling lemah, bukan hanya memanjakan mereka yang paling kuat. Peringatan 80 tahun kemerdekaan mestinya menjadi saat untuk meneguhkan komitmen, bukan sekadar mengulang pertunjukan yang sama setiap tahun.

Bayangkan bila di halaman istana bukan hanya tarian mewah yang dipertontonkan, melainkan kisah nyata rakyat kecil yang berhasil bangkit dari kemiskinan karena program negara. Bayangkan bila pesta diganti dengan pertemuan bersama perwakilan buruh, petani, nelayan, dan masyarakat adat, untuk mendengar suara mereka secara langsung. Bayangkan bila perayaan bukan hanya simbol, tetapi benar-benar menjadi perwujudan rasa syukur yang tulus, bahwa negeri ini sungguh-sungguh merdeka bagi semua orang.

BACA JUGA:SEKOLAH RAKYAT: LANGKAH MEMUTUS RANTAI KEMISKINAN

BACA JUGA:Pendidikan yang Gagal Merawat: Bullying, Trauma, dan Nyawa yang Terenggut

Tentu pesta bisa tetap ada. Tetapi pesta itu akan terasa bermakna bila rakyat juga merasakan kue kemerdekaan. Bila seorang pemulung bisa makan tiga kali sehari, bila anak-anak di pedalaman bisa sekolah tanpa takut putus, bila ibu-ibu di desa bisa melahirkan tanpa khawatir biaya rumah sakit, bila buruh bisa pulang ke rumah dengan gaji yang cukup untuk hidup layak, barulah kita bisa mengatakan bahwa pesta kemerdekaan itu sahih.

Di luar itu, pesta hanya akan menjadi luka yang dipoles warna-warni. Ia menjadi simbol betapa negara lebih sibuk merayakan dirinya ketimbang menunaikan janji-janjinya.

Kita perlu jujur melihat diri. Delapan puluh tahun bukan usia muda bagi sebuah bangsa. Waktu itu cukup panjang untuk membuktikan apakah kemerdekaan benar-benar bermakna. Namun kenyataan hari ini menunjukkan pekerjaan rumah yang masih menumpuk. Jurang kesenjangan makin lebar, korupsi tetap merajalela, kebijakan kerap hanya menguntungkan segelintir. Di tengah itu semua, pesta di istana terasa seperti ejekan.

Soe Hok Gie juga pernah menulis: “Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda, dan yang tersial adalah berumur tua.” Ia menulis itu dengan getir, sebagai cermin kekecewaan pada bangsa yang gagal menepati cita-citanya. Apakah kita ingin bangsa ini dikenang sebagai yang “tersial,” karena gagal merawat kemerdekaan? Atau kita masih punya keberanian untuk berubah?

Peringatan 80 tahun mestinya menjadi pengingat keras: kita tak boleh lagi terjebak pada pesta tanpa makna. Yang dibutuhkan rakyat bukan tarian di istana, melainkan keberanian negara untuk benar-benar menghadirkan keadilan sosial. Kemerdekaan yang sejati bukan dirayakan dengan gegap gempita, tetapi diwujudkan dengan kerja nyata untuk mereka yang selama ini hanya menjadi penonton.

Istana boleh berpesta. Tetapi pesta itu tidak boleh menutupi fakta bahwa di luar pagar masih banyak rakyat yang merana. Bila negara sungguh-sungguh berpihak pada rakyat, maka kelak pada HUT ke-90, kita tak lagi perlu bicara tentang ironi ini. Kita bisa benar-benar merayakan bersama, dengan rasa syukur yang tulus, karena kemerdekaan sudah dirasakan semua orang.

BACA JUGA:Bukan Deep Learning, Pendidikan Indonesia Butuh Perbaikan Supervisi dan Kompensasi

BACA JUGA:MSP, Babel Dikeruk, Batam Dapat Untung

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: