KEMUNAFIKAN DAN WAJAH GANDA DALAM POLITIK

Saifuddin --Foto: ist
Herbert Marcuse (1898-1979) seorang filsuf Jerman-Yahudi teoritikus politik dan sosiologi, serta anggota Frankfurt School yang dikenal sebagai “bapak kiri baru” yang memberi pengaruh pada gerakan mahasiswa tahun 1960-an. Karyanya yang terkenal adalah “Eros and Civilization, One Dimensional Man, serta The Aesthetic Diemension.” Bagi Marcuse dalam karya One Dimensional man, bahwa manusia memiliki kecendrungan memainkan dua peran sekaligus dalam upaya memenuhi kebutuhan, hasrat, keinginan serta tujuan politiknya. Artinya seseorang bisa berperan ganda; kejujuran dan kemunafikan, ketulusan dan kepura-puraan. Dan perilaku ini seringkali kita jumpai di ranah politik terutama pada diri seorang politikus. Bagi Hannah Arendt, sulit menemukan autentik seorang politisi dengan kepolosan, kesederhanaan, kejujuran, ketulusan, sebab watak itu dikemas dalam motif politik dengan frase sederhana “siapa, apa dan mendapat apa.”
BACA JUGA:PERAN NAZHIR DALAM PENGELOLAAN & PENGEMBANGAN HARTA BENDA WAKAF
BACA JUGA:Profesi Akuntansi Naik Kelas, Kini Jadi Pengawal Keberlanjutan
Dalam sebuah reportase klasik dalam karya Judith Shklar yang berjudul “Ordinary Vices (1984) dalam buku tersebut Shklar memperjelas permasalahannya dengan menyusun peringkat sifat buruk menurut ancaman yang mereka tunjukkan pada masyarakat liberal. Sifat buruk yang muncul dan paling jahat di antara semuanya, sejauh ini adalah sifat kejam. Oleh karena sifat-sifat buruk lainnya menurut Shklar tidak begitu buruk tetapi yang paling terburuk adalah kemunafikan. Sehingga Shklar mengajak masyarakat liberal untuk terus-menerus mengkhwatirkan kemunafikan.
Bagi Shklar, setidaknya ada dua alasan yang kuat tentang kemunafikan dalam politik. Pertama,sangat mudah rasanya menunjukkan rasa tidak suka kepada kemunafikan—pada tingkatan dasar manusia, ada sesuatu yang menjijikkan tentang kemunafikan, karena tidak ada seorang pun yang senang dipermainkan sebagai orang bodoh oleh kekuasaan. Kedua, siapa yang menunjukkan rasa tidak suka dengan kemunafikan, akan sangat mudah ditemukan. Dan bagi siapa pun yang menempatkan kemunafikan pada posisi pertama, Shklar menuliskan “pertama di sini, mempunyai arti yang menempati peringkat terburuk dari sifat-sifat buruk yang ada)” ketakutan mereka diperkuat terutama mereka meihat kemunafikan ada di mana-mana; dan ini berarti mereka melihat kemunafikan juga ada di mana-mana dalam dunia politik.
Masyarakat liberal terlanjur memilih menjadi masyarakat demokratis, sehingga kemunafikan menjadi sesuatu yang sulit dihindari dalam kehidupan politik kontemporer. Akan tetapi bagi Shklar, sulit rasanya menemukan garis pemutus untuk menghentikan kemunafikan dalam politik, dan usaha itu tidak mudah. Bahwa kemudian ada pameo “Dunia yang kita tempati adalah dunia yang secara moral pliralis, yaitu kemunafikan dan anti kemunafikan bergabung membentuk sebuah sistem yang berlainan”.
Berbagai jenis kemunafikan dalam konteks politik modern kontemporer memberi isyarat yang panjang kalau kemunafikan sudah seperti tradisi yang terus-menerus dipelihara. Bagi Shklar, membahas kemunafikan tidak hanya dengan membaca pikiran Hegel, tetapi juga mengambil pijakan dari penulis naskah seperti Moliere, seseorang yang mengenalkan “Tartuffery” atau (kesalehan orang munafik), juga seorang novelis (termasuk Hawthorne dan Dickens) atas wawasan mereka terhadap tarian kemunafikan dan anti kemunafikan yang demikian rumit, yakni serangkaian pemakaian dan pelepasan topeng yeng memebntuk eksistensi sosial kita. Sekalipu, penulis liberal seperti Ruth Grants yang berjudul “Hypocrisy and Integrity (1997) yang mengapresiasi perlunya kemunafikan dalam politik untuk diperselisihkan, dengan alasan demokrasi liberal bukan tempat yang tepat untuk menemukan pencarian tentang kemunafikan dalam politik dan kekuasaan. Sekalipun Grants juga dianggap gagal memahami teori liberal yang menjadikan kemunafikan masuk akal.
David Runciman seorang Professor Politik Cambridge University (2010), dalam bukunya “Political Hypocrisy: The Mask of Power, from Hobbes to Orwell and Beyond”, menjelaskan bahwa realitas politik seperti itu merupakan bagian dari fenomena politik berwajah dua. Integritas dan inkonsistensi menjadi dua hal yang saling berseberangan. Seperti karya Herebrt Marcuse “One Dimensional Man” justru meliagt ada peran ganda dari seseorang dalam lakon politiknya. Mungkin ekstrimnya disebut sebagai politik yang berwajah ganda.
Dalam mitologi Romawi Kuno. Kita kenal Dewa Janus merupakan seorang Raja dari Latium, yakni salah satu wilayah di Italia tengah. Caillan Davenport (2018) dalam sebuah artikel di The Conversation menjelaskan Janus sebagai sosok dewa berjanggut dengan dua wajah yang saling menghadap pada dua arah yang berbeda. Satu wajahnya untuk melihat masa lalu dan satunya lagi untuk melihat masa depan. Dewa ini juga dipercaya memegang kunci dan tongkat yang digunakan untuk memandu para peziarah dan membuka kunci gerbang. Dia juga merupakan kebanggaan orang Romawi Kuno.
BACA JUGA:Pulau Tujuh Bukan Sekadar Gugusan Karang, Dukung Langkah Gubernur Babel ke Mahkamah Konstitusi
BACA JUGA:QRIS Antarnegara: Menembus Batas, Membangun Jembatan Ekonomi
Mitologi Dewa Janus tidak hanya ditemukan dalam cerita-cerita Romawi Kuno dalam konteks histories, tetapi pada dunia realitas saat ini, ia bisa ditemukan dalam wajah elite politik kita. Persis pada kepemimpinan rezim saat ini, kepala yang menghadap ke depan adalah sosok merakyat dengan intonasi nada yang lembut saat berbicara. Sedangkan, kepala yang menghadap ke belakang menyembunyikan ambisi dan keserakahan. Menanmkan dominasi, hegemoni dan teror pada publik agar tetap terpercaya, sebagaimana ungkapan Jean Baudrilard dalam bukunya “The Agony of power” nya.
Sehingga persepsi publik dalam melihat dua wajah yang saling membelakangi ini membuat publik melihat dari dua sisi yang berbeda pula. Pada perbedaan sudut pandang inilah kepalsuan, inkonsistensi, dan kemunafikan menyatu dalam satu tubuh politik yang sama. Dengan tongkat dan kunci yang mensimbolkan bahwa dialah sang penuntun dan keputusan mutlak hampir tergantung padanya. Dan rupanya, seperti itulah yang dimainkan oleh elite-elite politik, termasuk 10 tahun terakhir kepemimpinan rezim Jokowi. Bahkan hengkangnya para aktivis politik yang dianggap memiliki idealisme kuat, justru memilih jalan bergabung kepada kekuasaan yang selama ini ia kritisi. Perpindahan agncy politik menjadi indikasi yang membenarkan kalau dalam politik itu tidak ada “kesetiaan yang abadi” tetapi kemunafikan yang berbalut kesalehan sosial.
Bahkan seorang John Morley dalam ungkapannya menunjukkan keprihatinannya tentang kemenangan semangat politik, yang ia definisikan sebagai pengabaian prinsip-prinsip dan kesediaan politisi dari semua kalangan untuk menyamar dan berkompromi atas nama partai (Runciman, 2008). Panggung politik itu penuh dengan wajah kemunafikan. Partai politik dan para aktor-aktornya hanya menunggu waktu dengan bersembunyi di balik jargon-jargon atas nama idealisme dan moralitas. Berteriak atas nama moral dan etika ketika tidak berada dalam kekuasaan. Namun setelah ia berada dalam kekuasaan ia tidak sadar kalau kemarin ia mengkritik kekuasaan dan hari ini ia memujanya karena posisi sudah di dapatkannya.
Dan lakon politik saat ini sebagai penanda bahwa kemunafikan dalam politik dengan wajah ganda adalah wujud dari watak buruk dari elit dan kekuasaan yang secara terus menerus dipertontonkan di arena politik yang alih-alih demokratis, padahal itu dusta yang bertopengkan kemunafikan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: