KOTAK KOSONG PETAKA DEMOKRASI

KOTAK KOSONG PETAKA DEMOKRASI

Saifuddin --Foto: ist

Oleh: Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS, Dosen, Penulis buku, Kritikus dan penggiat demokrasi

___________________________________________

SISTEM demokrasi memang selalu menyuguhkan berbagai pilihan sebagai bagian dari bentuk partisipasi politik di ruang demokrasi. Bahwa kemudian pilihan itu berbeda, itulah demokrasi. Memang untuk sampai di demokrasi yang substantif memang tidak mudah, banyak hal yang menjadi pertimbangan ; salah satu diantaranya pendewasan politik menuju kesadaran kolektif di dalam upaya membangun kultur dan peradaban demokrasi yang ideal. 

Pada rentang Pilkada 2017-2020 dari 545 daerah yang melaksanakan Pilkada terdapat 50 Paslon tunggal (9,17%) saat ini masih syarat 20% kursi atau 25% suara sah. Sedangkan pada Pilkada 2024 ini terdapat 43 daerah calon tunggal dari 545 daerah yang menggelar Pilkada dengan prosentase (7,89%) sekalipun putusan MK 60/UU-XXII/2024 belum optimal dilaksanakan mengingat waktu yang begitu dekat dengan tahapan penyelenggaraan Pilkada. Tapi paling tidak angka paslon melawan kotak kosong sedikit berkurang dari tahun-tahun sebelumnya. 

Geliat politik memang bergerak seakan tanpa arah. Liar, dan cendrung membawa arus demokrasi berpindah dari agency politik ke agency yang lain. Tidak salah pikiran awam, bahwa politik itu liar, licin, dan tak sekuat penunggang kuda yang memacu kudanya dengan kencang, analogi ini ibarat satu keutuhan komitment. Apakah politik tak butuh komitment? inilah yang sedikit meresahkan publik. Agency politik begitu cepat berpindah-pindah, dari faksi yang satu ke faksi yang lainnya. Politik yang selalu bersoal tentang kepemimpinan, tetapi kadang soal yang lain terabaikan. 

Nah, karenanya fenomena pengabaian tokoh, adat dan budaya menjadi sebab figuritas lokal untuk tampil sebagai pemimpin tak pernah masuk hitungan, karena tak memiliki modal politik yang mumpuni demi mempersiapkan mahar (cost) politik yang semakin menggila. Pemilik modal bisa saja dengan entengnya membeli partai dengan harga yang fantastis. Dibanyak tempat telah muncul realitas baru dengan aksara "kotak kosong", sebuah peristilahan yang mengerikan. Kengerian bukan tanpa alasan, kotak kosong ber-efek pada, (1) meniadakan figuritas dikontekstasi politik yang ada, seperti di daerah itu tak memiliki tokoh atau cerdik pandai. (2), kotak kosong menistakan demokrasi. (3), kotak kosong, kebih pada karena parpol sedikit pragmatis. (4), kotak kosong terjadi karena saling menyandera, belum lagi kehadiran para pemodal yang cendrung membeli parpol dengan biaya tinggi. Konsekuensinya adalah siapa menjadi pemenang menjadi hutang bagi pemodalnya, dan itu harus dibayar dengan mahal.

BACA JUGA:MEMPERINGATI HARI ANAK SEDUNIA : Menjadi Orang Tua Sebagai Sahabat Anak

BACA JUGA:Refleksi Hari Guru: Menjawab Tantangan Kesejahteraan dan Profesionalisme di Dunia Pendidikan

Pada aspek yang lain, fenomena "kotak kosong" adalah perlawanan terhadap budaya masyarakat, dan nampak adanya jual beli kepentingan, dan ini sudah mencederai substansi demokrasi. Bukankah demokrasi begitu menghargai budaya ketokohan? tetapi kalau kotak kosong dalam pandangan politik berarti tak melawan siapa-siapa, terus dimana figuritas itu, dimana parpol sebagai tempat memproduksi pemimpin, apakah figur dan parpol juga ikut tergadai? semua ini adalah realitas terburuk berdemokrasi. 

Bagi Sigmund Freud dalam “Naluri Kekuasaan” yang ditulis oleh Calvin S Hall bahwa realitas politik sudah masuk kategori “kecemasan moral” yakni satu keadaan di mana seseorang tak lagi mau mengikuti cara-cara yang prosedur merebut kekuasaan, tak mau lagi mengikuti jalur kompetitif dalam mengisi ruang publik, dan menempuh cara dengan melanggar moralitas. Kecemasan ini muncul karena seseorang merasa takut kehilangan kekuasaan, sehingga berbagai cara pun dilakukan yang penting tujuan tercapai. Halal, Haram, Hantam (3 H), mungkin demikian adanya. 

Fenomena politik kotak kosong dalam konteks politik nasional maupun lokal, sesungguhnya melawan "ketidakpercayaan publik". Kalau pun kandidat menang mungkin tak bersoal, namun kalau kalah ini lebih menyakitkan sebab kemenangan publik atas ketidakpercayaan. Tetapi menang pun tentu dihantui oleh ketidakpercayaan publik dalam menjalankan pemerintahan. Semua ini adalah efek domino dari budaya politik transaksional. Agak sulit diterima akal sehat kalau kotak kosong menjadi kontrak politik. Dan ini juga bisa dikategorikan dalam makna politik antilogika. 

Kegagalan demokrasi bukan hanya dilihat dari hasil akhir dari sebuah proses berpolitik, tetapi untuk mengukur kualitas berdemokrasi dapat ditentukan oleh tingkat partisipasi rakyat, kecerdasan rakyat dalam segmentasi dimana politik itu dilangsungkan. Rakyat tak boleh hadir sebagai penjual suara (obligator vote). Tetapi rakyat harus hadir dalam proses edukasi politik, sehingga mereka paham tentang metode, prosedural, serta tata cara proses politik itu secara sempurna. 

Kekhawatiran secara politis seperti ini adalah sebuah kewajaran, bila kita bersandar pada nilai demokrasi yang sesungguhnya. Bukan demos tanpa kratos atau sebaliknya. Tetapi paling tidak kemasan politik haruslah berdimensi humanity, culture, serta mampu menghadirkan tipikal pemimpin yang lahir dari rahim rakyat yang memilihnya. Politisi sebagai agency kekuasaan yang bertahta pada partai politik sejatinya harus mengisi ruang publik yang kosong, dan tidak terjebak pada diskursus yang keliru dengan cara membenarkan politik kotak kosong. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: