Di Balik Kiasan Melayu: Pucuk Dicita Ulam Tiba

Di Balik Kiasan Melayu: Pucuk Dicita Ulam Tiba

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

BABELPOS.ID.- Keluarnya kiasan atau kata bijak, sindiran, atau perumpamaan dalam tutur Bahasa Melayu, kerap kali punya histori atau berlatar belakang sejarah.  

Seperti ucapan: pucuk dicinta, ulam tiba, tak lepas dari kisah pada zaman Kesultanan Palembang.

Menurut Sejarahwan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel), Akhmad Elvian, Sultan pertama kesultanan Palembang Darussalam, sultan Susuhunan Abdurrahman Khalifatul Mukminin Sayyidul Imam (memerintah Tahun 1659-1706 Masehi), pada Tahun 1666 ingin meminang puteri Bupati Nusantara, juwaraja kesultanan Banten di Kububangka atau Bangkakota. 

Karena pada saat itu Palembang dan Banten sedang bersengketa, maka Bupati Nusantara kemudian berkirim surat kepada sultan Banten untuk meminta izin menikahkan puterinya. 

BACA JUGA:Datuk Akhmad Elvian Ajak Masyarakat Melayu Babel Merawat Marwah

Sultan Banten memberikan jawaban, bahwa tidak berhalangan atas permintaan sultan Susuhunan Palembang, asal Bupati Nusantara dan anaknya suka menerima.  Lalu Pulau Bangka sepenuhnya diserahkan kepada Bupati Nusantara dengan tidak berada di bawah kekuasaan kesultanan Banten lagi.

Setelah Bupati selesai membaca surat sultan Banten, Ia amat bersuka cita, bagai: 

“Pucuk dicita ulam tiba, Nak gelang cincin lah boleh”. 

Bersegeralah Ia kemudian berangkat dengan anaknya, pergi untuk dinikahkan dengan sultan Susuhunan Palembang. 

Tatkala sultan Susuhunan mendengar Bupati Nusantara telah datang bersama-sama anaknya, lalu diperintahkanlah oleh sultan untuk menyambut calon permaisuri dan mertuanya dengan upacara kehormatan berdasarkan tata cara adat raja-raja, lalu sultan Susuhunan dinikahkan oleh Bupati Nusantara dengan anaknya, dan rakyatpun bergembira dengan upacara selama 7 hari 7 malam. Setelah selesai barulah kemudian sultan Susuhunan Abdurrahman dengan istrinya kembali ke Palembang dan Bupati Nusantara kembali ke Bangkakota. 

BACA JUGA:MABMI Babel Puji Upaya Pemkab Bangka Melestarikan Budaya Melayu

''Perkawinan politik, menyebabkan pulau Bangka kemudian berada di bawah kekuasaan kesultanan Palembang Darussalam  dalam wilayah Sindang berstatus Mardika atau bebas,'' ujar Elvian, sejarahwan Penerima Penghargaan Anugerah Kebudayaan Indonesia itu.***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: