Bu Wali, Warga Pangkalpinang Ketar-ketir, Sejak Zaman Belanda Selalu di Januari-Februari?

Bu Wali, Warga Pangkalpinang Ketar-ketir, Sejak Zaman Belanda Selalu di Januari-Februari?

Beberapa Wilayah Kota Pangkalpinang yang Jadi Langganan Banjir.-Dok-

BABELPOS.ID.- Hingga malam ini, warga Pangkalpinang --terutama kawasan yang menjadi langganan genangan air akibat irigasi yang meluap dan laut pasang naik (rob)--, masih ketar-ketir.  Dapat dimaklumi, karena ancaman hujan kembali turun terus terasa.

Wilayah-wilayah yang menjadi langganan banjir ini hingga sekarang memang belum teratasi secara paripurna.  Sehinngga, meski sudah ada pendalaman serta pembangunan dam, namun belum berfungsi maksimal.  Itu sebabnya kawasan Jalan Balai, Jalan A Yani Dalam, Jalan SMP Muhammadiyah --termasuk beberapa kawasan Pasar Pagi--, adalah daerah yang selalu menjadi langganan dan pertama tergenang.

BACA JUGA:Hingga Sekarang, Beberapa Wilayah Pangkalpinang Masih Tergenang

Apakah warga tidak mengeluh?

''Mengeluh lah, tapi tiap kali mengeluh, jadi hilang seiring dengan cepatnya genangan itu surut,'' ujar seorang warga yang mengakui genangan cepat surut ketika hujan berhenti.

Selalu Dalam 3 Bulan itu?

Terlepas dari kondisi itu, tampaknya histori curah hujan tinggi selalu di Bulan Desember, Januari, dan Februari, melanda Pulau Bangka khususnya, layak menjadi perhatian guna disikapi dan dicarikan solusi.  Paling tidak solusi sementara antisipasi 3 bulan yang curah hujannnya tinggi itu.

Diketahui, menurut Sejarahwan Bangka Belitung (Babel), Akhmad Elvian, Data  MVO (Memorie van Overgave) atau Laporan Serah Terima Jabatan (Arsip Nasional Republik Indonesia, 1928) yaitu masa Residen Bangka AJN. Engelenberg (Tahun 1913-1918), Residen Doornik W (Tahun 1918-1923) dan Residen Fraser JJ (Tahun 1923-1925), serta masa Residen J.E Edie (Tahun 1925-1928), diketahui bahwa curah hujan tertinggi di Bangka terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari. 

BACA JUGA:Pemkab Babar, TNI/Polri Gelar Rakor Pencegahan Banjir dan Pengendalian Wabah Penyakit

''Tingginya curah hujan di 3 bulan itu, sampai masuk di dalam laporan tiap kali pergantian Residen Belanda,'' ujar Elvian yang sekarang masih menjabat sebagai Sekwan Kota Pangkalpinang ini.

Pemerintah Hindia Belanda ketika itu memberikan atensi khusus di 3 bulan tersebut, menurut Elvian, karena berdampak langsung.

''Akibat curah hujan tersebut banyak infrastruktur yang dibangun Pemerintah Hindia Belanda rusak dan untuk memperbaiki banyaknya jembatan dan jalan yang rusak karena tingginya curah hujan dan kuatnya arus air pada puncaknya di bulan-bulan tersebut,'' ujarnya.

Bahkan, penduduk pribumi Bangka pernah dikerahkan dengan kerja paksa tanpa digaji (herendients atau corvee) dan hanya diberikan sedikit beras dan garam. 

''Pada Tahun 1921 kewajiban ini hanya diwajibkan pada hal praktis seperti pada saat bencana alam. Di pulau Bangka setelah kewajiban ini dihapuskan diganti dengan pajak kepala bagi laki laki dewasa sebesar f3 (Tiga gulden) setahun,'' ujar Elvian.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: