Sengitnya Perlawanan Depati Amir Hingga Kepalanya Dihargai Belanda 1000 dolar perak Spanyol
Surat Depati Amir dan Ilustrasi Perang Bangka.--
Amir memang memiliki kepentingan dan cita-cita besar, eschatologi perjuangannya adalah membebaskan rakyat dari belenggu penjajahan. Sang Residen Belanda F. van Olden pun berkeluh kesah dalam bukunya De muiterij van Amir, dan mengkambinghitamkan “alam”, dikatakan van Olden: betapa sulitnya medan perang di pulau Bangka yang terdiri dari lembah, sungai, bukit, rawa-rawa, padang ilalang dan hutan belantara yang sulit ditembus sehingga menyulitkan upaya penangkapan Depati Amir.
''Sungguh suatu pembelaan diri, atas ketidakmampuan menghadapi Perang Gerilya Amir. Kegagalan militer dalam mengatasi pemberontakan Amir di Bangka hanya sedikit diberitakan. Dalam surat 27 Januari 1851 nomor 1, berita dari Departemen militer, dikabarkan tentang banyaknya tentara Belanda yang harus dipulangkan dari Bangka (Kompi ke-4 Batalyon I, Kompi Afrikaansche Flank-Kompagnie Batalyon ke 12, Pasukan dari kapal perang uap Onrust, Bromo dan Tjipanas),'' ulas Elvian lagi.
BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Tiga)
Tentara ekspedisi yang didatangkan dari pulau 293 Jawa dan Palembang diminta segera dipulangkan dari Bangka ke Batavia sedikitnya menggunakan tiga kapal Api yaitu; kapal api “Batavia‟, kapal api “Onrust‟ dan kapal api “Tjipanas‟. Selanjutnya diberitakan pada tanggal 13 Maret 1851, militer Belanda dari Kompeni ke- 4 Batalyon ke I Infanteri, mulai bulan ini (Maret) akan kembali ke Batavia. Diberitakan sedikit kabar bahwa, keadaan tentara yang sakit belum membaik, tetap demam, batuk, dimana komandan infanteri juga menderita sakit. Berita-berita tentang perang di Bangka menyita waktu yang cukup panjang, hampir berlangsung 4 tahun (dari Tahun 1848-1851 Masehi), bahkan berita tentang Amir masih berlanjut hingga kematian menjemputnya di pengasingan Koepang, pulau Timor pada tanggal 28 September 1869.
''Antara tahun-tahun tersebut berserakan laporan berupa surat dan besluit pemerintah Belanda terkait dengan pemberontakan Amir di Bangka, dan menunjukkan betapa gigih dan berbahayanya pemberontakan Amir. Bahkan dalam Algemeen Verslag 1851 disebutkan ”...Hukuman yang keras berlaku baginya, kemungkinan hukuman mati bagi kepala pemberontak Amir yang melakukan perlawanan bersenjata secara terbuka terhadap pemerintah yang sah....” jelasnya.
Mengingat sifat perlawanan menentang penjajah (umumnya di Hindia Belanda) pada waktu itu (Abad 19), masih sangat tergantung pada tokoh pemimpin sentral.
”...dengan ditangkapnya Amir dengan kelompok pengikutnya, maka hilang pula ikatannya (pengaruhnya), dan wibawa pemerintah Belanda pulih kembali, sedangkan dengan pembuangan pimpinan termasuk keluarga mereka yang menyebar benih keonaran di pulau itu, untuk waktu yang lama bisa menghilang...” (Residen Bangka Sementara, H.J.
Saverijn Haesebroek dalam Algemeen Verslag 1851). W.A. van Rees, selanjutnya membuat laporan sebagaimana dikutip Heidhues (2008;94): “Ia, (Amir melalui pemberontakannya) adalah penyebab...dari perbaikan sosial bagi penduduk Bangka, yang dalam Lima puluh tahun (sic) di bawah kekuasaan kita tidak membuat kemajuan peradaban”. Satu pengakuan, bahwa Belanda tidak sama sekali memperhatikan penduduk negeri jajahannya, meminjam istilah Bung Karno:
“Penjajahan adalah penghisapan manusia atas manusia (exsploitatition de l’homme par l’homme). Amir, seorang pejuang tangguh dari negeri terjajah justru yang menjungkirbalikkan perubahan peradaban Bangka dan tampil sebagai “man make history” (orang yang membuat sejarah). Perubahan peradaban Bangka dapat dikenali dan dirasakan dikemudian hari setelah beberapa dekade usainya peperangan. Kisah sejarah Depati Amir menjanjikan suatu masa depan cerah bagi kelangsungan budaya multikultural negeri ini. Di tengah keragaman yang rentan oleh isu-isu yang mengancam, dari masa lalu terdapat cerminan yang bisa dijadikan kemudi peradaban.
Perjuangan rakyat Bangka, baru bisa dikatakan berhasil, dalam beberapa segi, tatkala penduduk Bangka bersatu menyingsingkan perbedaan agama dan budaya, lantas bersamaan serentak melawan dan merebut kembali nuansa kebebasan. Dalam bentangan narasi laporan kolonial sebelumnya, tersimpul kesaksian, bahwa laju semangat juang di Bangka, adalah berasal dari dua kelompok masyarakat, yaitu Pribumi Bangka, dan Tionghoa.
BACA JUGA:PAHLAWAN DUABELAS (Bagian Empat)
Melihat pada kontur sosial masyarakat Bangka era kolonial, maka tidak bisa dilepaskan dari keberadaan tambang Timah sebagai oase yang didatangi berbagai kalangan. Warga pribumi awal, kemudian orang Melayu, telah lebih dulu menambang Timah untuk kebutuhan mereka dan sebagian penghasilannya dikirim ke Palembang. Para pendatang Cina datang untuk mengisi pos para penambang yang tidak terpenuhi jumlahnya, seiring dengan dibukanya banyak tambang-tambang baru. Posisi kolonial Belanda, dari yang sebelumnya menjalin kontrak perdagangan dengan Palembang, perlahan-lahan telah berhasil melampaui batasan administratif, bahkan belakangan telah mendirikan pemerintahan residensi di Bangka, selanjutnya residensi Bangka Belitung dan pulau pulau yang melingkupinya (Tahun 1933).
Keberadaan pemerintahan kolonial di Bangka, adalah menyokong keberadaan parit-parit Timah yang berada di bawah kuasa mereka. Dengan kata lain, keberadaan residensi di sana didorong oleh kepentingan mereka memanen dan mengambil keuntungan dari Timah Bangka. Untuk mengamankan usahanya ini, ketenangan dan keteraturan (rust en orde) sudah pasti dibutuhkan untuk menciptakan suatu iklim yang kondusif. Bagi pemerintah Belanda, ketenangan sosial berarti semakin menguatnya kedudukan mereka di mata pribumi. Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, warga Bangka belakangan merasa terusik dengan keberadaan pemerintahan kolonial, khususnya para pemuka rakyat lokal, salah satunya Depati Amir. Di sisi lain, kesejahteraan juga urung didapat para pegawai Cina mengingat kedudukan mereka adalah buruh bergaji murah, yang hari demi hari hanya bergulat dalam aktivitas penambangan yang melelahkan. Sebenarnya, letak masalahnya bukan hanya pada faktor kelelahan bekerja, melainkan juga ketidakadilan dan kesewenangan yang dilakukan pemerintah Belanda.(***/dari buku Depati Amir Perjuangan dan Pengabdian Lintas Pulau Tahun 1848-1868, Akhmad Elvian, M. Dhien Madjid).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: