Istana & Senayan

Istana & Senayan

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

 

KALAU mau melakukan perubahan di Indonesia, ya harus dimulai dari perubahan besar, yakni Istana dan Senayan. Benar-benar berubah dan berubah benar-benar….

-------------------

BEBERAPA hari yang lalu, salah satu anggota DPD RI Dapil Bangka Belitung, Ustadz H. Zuhri M. Syazali, Lc., MA. datang silaturrahim ke pundok kebun saya ditengah hutan di Desa Kemuja. Maklumlah, 5 bulan terakhir ini, saya menyatakan diri hidup menepi dalam sunyi di Pundok Kebun tepi sungai ditengah hutan. Alhamdulillah, walau demikian, tamu tak berhenti berdatangan, dari kawan masa kecil, keluarga, guru-guru, aktivis, mahasiswa, LSM, awak media, pengurus partai politik, pejabat daerah dari Bupati-Bupati, Wakil Walikota hingga mantan dan calon Gubernur, termasuk para Anggota DPR RI dan DPD RI.

Cukup panjang diskusi saya dengan Ustadz Zuhri malam itu, berkaitan dengan kebangsaan dan kedaerahan. Pada point kebangsaan, saya ditanya sang Senator bagaimana merubah Indonesia menjadi lebih baik? Saya menjawab: “Merubah Indonesia ini harus dari yang besar bukan yang kecil. Perubahan itu harus dilakukan di Istana dan Senayan. Sebab baik dan buruknya sistem dan keadaan Indonesia, tergantung 2 tempat tersebut. Hukum, keamanan, kerakyatan, kebangsaan, ekonomi, BUMN, Sosial Budaya, Karakter Bangsa, Teknologi, semuanya dimulai dari 2 tempat tersebut”.

Selama Istana masih di isi penuh dengan para timses (balasa budi politik), politisi yang tidak punya kemampuan dan kapasitas kenegaraan, jauh dari mental negarawan tapi justru bernafas penjilat dan perongrong serta penggigit, maka perubahan itu justru tidak akan banyak diharapkan, bahkan sebaliknya. Tapi jika Istana itu diisi kaum professional, akademisi, orang-orang berwawasan tinggi, mental negarawan, insya Allah akan ada harapan perubahan yang lebih baik dan menguntungkan keberlanjutan negara ini. Sebab kepentingan negara jauh lebih diprioritaskan ketimbang kepentingan kelompok, golongan apalagi kepentingan pribadi (oligarki). Pada kenyataannya, kadangkala sebagai rakyat kecil nun jauh dari keriuhan politik praktis, saya melihat istana tidak lebih dari “Posko Timses”.

Pun demikian, Istana juga sepertinya tidak memiliki kekuatan yang maha dahsyat, sebab tidak menutup kemungkinan disana ada Presiden diatas Presiden, ada kekuatan yang lebih kuat dari sang Kepala Negara. Bisa jadi dan jadi bisa dan berbisa lho. Sebab, keriuhan seringkali terjadi di Istana, entah riuh kepentingan kelompok, riuh kepentingan pribadi, riuh kepentingan politik, padahal kita sangat ingin menyaksikan riuh adu otak dan adu data untuk kepentingan bangsa dimasa yang akan datang. Kita ingin isi kepala di Istana itu tidak berbicara “Who” tapi “What”.

Bagaimana dengan Senayan yang notabene diisi oleh orang-orang yang dipilih rakyat dengan jabatan wah dalam sebuah lembaga bernama DPR/MPR/DPD RI?. Persoalannya, DPR RI hari ini diisi oleh orang-orang yang sudah membawa kepentingan pribadi dan kelompok jauh lebih besar ketimbang membawa kepentingan bangsa dan negara. DPR RI kita notabene wakil rakyat diisi oleh mayoritas kaum pengusaha yang memiliki kepentingan besar terhadap bisnis terutama investasi besar dari kelompoknya. Ada juga mantan artis yang sampai detik ini tidak memberikan kontribusi “otak” sama sekali. Juga tidak sedikit politisi karbitan sebab keturunan alias orangtua yang sedang menjabat. Padahal, kadangkala saya bermimpi, DPR RI itu diisi oleh mantan aktivis yang masih idealis, akademisi, professional dan intinya orang yang punya “otak” bukan sekedar nampang wajah di baliho sepanjang jalan. 

Bahasa kasar saya ungkapkan dihadapan Anggota DPD RI malam itu: “Mayoritas bahkan bisa semua, bahwa yang duduk di Senayan itu adalah boneka partai dan pengusaha. Jadi perubahan untuk rakyat, sangat kecil kemungkinannya, ada juga politisi karbitan yang masihb gatel” 

Lalu bagaimana dengan DPD RI? Saat ini saya melihat DPD RI tidak ubah seperti tempat berkumpulnya para pensiunan tokoh daerah yang digaji serta difasilitas oleh negara. DPD RI kita hanya “plonga-plongo” tanpa wewenang besar yang dimiliki dan dianggap tidak lebih dari tukang sosialisasi 4 pilar kebangsaan serta reses kesana kemari untuk mengisi waktu luang dan menghabiskan anggaran. Padahal, jika melihat dari kapasitas dan keberpihaknnya pada bangsa dan daerah, lembaga bernama DPD RI ini sangatlah penting. Mengapa? Pertama, DPD RI itu murni mewakili daerah, sehingga keputusan dan kebijakannya hanya ada 2, yakni kebangsaan dan kedaerahan. Kedua, DPD RI itu tidak berpartai politik, sehingga bisa menghindari dari kata “boneka partai” dan pembawa kepentingan oligarki. Ketiga, DPD RI itu umumnya diisi oleh tokoh-tokoh daerah dan mantan pejabat yang memiliki pengalaman, sehingga sangat mumpuni berbicara dan membuat kebijakan serta mendapat wewenang di pusat untuk kebangsaan dan kedaerahan. 

Tapi, nyatanya, sejak reformasi bergulir dan terbentuknya DPD RI, sampai detik ini kita (saya rakyat kecil) melihat dan merasakan keberadaan DPD RI tidak lebih dari “wujuduhu ka adamihi” (keberadaanny seperti ketiadaannya). Oleh karenanya, harapan besar untuk langkah perubahan di Senayan adalah memperkuat wewenang dan kapasitas kebijakan serta memperlebar fungsi DPD RI. Jika tidak, maka perubahan di Senayan jauh dari harapan dan akhirnya kepentingan rakyat, daerah dan bangsa semakin jauh terpinggirkan.

2024, Tahun Introspeksi Bangsa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: