78 Tahun (merasa) Merdeka

78 Tahun (merasa) Merdeka

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

 

“JANGAN teriak “merdeka” deh, kalau ATM saja masih dipegang sama isteri!” 

 

 

SECARA konstitusi, Indonesia dinyatakan merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945 yang diproklamirkan oleh tokoh-tokoh besar bangsa Indonesia, Soekarno-Hatta dan kawan-kawan. Sekarang (Agustus 2023 artinya sudah 78 tahun Indonesia menikmati kemerdekaan dari penjajah yang mengeruk kekayaan alam dan membantai pribumi yang tak rela tanah air dan rakyatnya dijadikan budak. 78 TAHUN, bukan usia muda penuh gairah, bukan pula usia produktif jika diukur dari usia manusia. Tapi untuk usia sebuah negara, 78 tahun masih tergolong muda, seharusnya penuh gairah serta produktivitas dalam pembangunan dan pengelolaan negara serta memaknai arti kemerdekaan yang sesungguhnya seperti yang dicita-citakan oleh pendiri bangsa (founding fathers) kita tempoe doeloe.

Faktanya, apa benar Indonesia sudah benar-benar merdeka dari bentuk-bentuk penjajahan? Bagaimana dengan hukum, politik, budaya, bahkan kehidupan menjalankan ibadah keagamaan sesuai keyakinan? jangan-jangan penjajahan hanya berbentuk fisik saja, para penjajah kini berkamuflase dengan menjajah gaya baru abad modern dan mayoritas dari kita tidak sadar kalau sedang dijajah. Harta karun berupa timah, emas, batubara, minyak, bauksit siapa yang mengeruk? Bahkan gunung emas yang di Papua sudah berapa ratus ton yang dibawa ke negeri asing. 

Menurut sebuah catatan BIN, dulu saja, pada tahun 2006, setidaknya ada 76 Undang-Undang (UU) dan puluhan Rancangan Undang-Undang (RUU) yang mengakomodir kepentingan asing. Hal tersebut menjadikan hampir semua sector Sumber Daya Alam dan energi di bumi pertiwi ini dikuasai oleh asing. Hal tersebut dipertegas oleh temuan BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) yang menyatakan bahwa perusahaan asing menguasai 70% pertambangan mogas, 75% tambang batubara, bauksit, nikel dan timah. Negara asing juga menguasai 85% tambang tembaga dan emas serta 50% perkebunan sawit. Layakkah kita disebut merdeka dalam mengelola negeri sendiri?. 

Kekayaan alam yang dikeruk habis oleh asing, dan kemiskinan yang semakin hari semakin bertambah, juga ditambah kesenjangan sosial yang terjadi dimasyarakat, mengambarkan betapa negeri ini belumlah merdeka seutuhnya. Itulah mengapa tak sedikit penduduk negeri ini, rela berkorban mengadu nasib di negeri orang, hanya demi mendapatkan sesuap nasi guna menghidupi anak dan sanak family. Kalau lah negeri ini memang sudah merdeka, kenapa masih saja ada TKI yang tak lebih diperlakukan sebagai “budak” oleh negara asing bahkan negara tetangga pun berani menghina negeri kita besar ini. Inilah salah satu bukti miris bahwa ternyata negeri ini belumlah merdeka sepenuhnya alias baru merasa merdeka. 

Negeri yang katanya “merdeka” 78 tahun silam dengan gugusan pulau tujuh belasan ribu yang hampir setiap pulau didalamnya tersimpan harta karun yang apabila benar-benar merdeka dimanfaatkan oleh anak negeri sendiri dan pengelolaan yang adil, bukan sekedar khayalan kalau pribumi tujuh puluh turunan kita bangsa Indonesia menjadi orang kaya. Tapi karena keserakahan sekelompok pemilik modal yang mendapat katebelece penguasa tamak, jangankan tujuh puluh turunan, setiap turunan bahkan yang belum lahir saja di negeri ini sudah mendapatkan kesengsaraan. Berapa banyak ibu-ibu yang tidak bisa melahirkan dengan layak karena tidak memiliki biaya. Berapa banyak bayi-bayi yang disandera akibat orangtunya tak mampu membayar tagihan rumah sakit yang dimiliki oleh pemodal. 

Sedangkan dari kemerdekaan sosial budaya kita masih terjajah oleh pemikiran-pemikiran jahiliyah sehingga tanpa disadari mengikuti pola hidup yang diinginkan penjajah. Sejauh mana putra-putri kita mencintai budaya bangsa sendiri? Nggak usahlah di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, di pelosok-pelosok desa putra-putri kita sudah mulai “jijik” dengan budaya dan bangsa sendiri dan mengagung-agungkan budaya bangsa lain. Bahasa ibu (daerah) dan bahasa nasional (Indonesia) sudah mulai tergerus oleh bahasa asing. Berapa banyak orangtua modern lebih bangga bukan kepalang ketika anak-anaknya bisa berbahasa asing dan “bodoh” berbahasa daerah bahkan berbahasa nasional. Berapa banyak orangtua kita di era sekarang lebih bangga anaknya berpenampilan modis dengan gadget terbaru serta dalam obrolannya mengenai artis-artis luar negeri. 

Kebaya, sarung, kopiah, serta permainan-permainan masa lalu seperti gasing, layang-layang, semunyik gong, petak umpet, dan berbagai permainan yang mengandung unsur kearifan, kerjasama serta kepemimpinan, kian hari kian tergerus oleh kepongahan sok modern. Sebaliknya, bangsa lain justru mulai mempelajari, mencintai dan bahkan merampok budaya, permainan bahkan bahasa kita. 78 tahun Indonesia (merasa merdeka, ternyata segala kebutihan negeri yang kaya raya ini justur harus beli dari luar negeri. Negara-negara asing pun merajai segala kebutuhan tetek-bengek kita sampai urusan tetek beneran. Produk lokal justru dijauhi oleh anak negeri sendiri, andaipun ada tokoh yang menggembar-gemborkan cinta produk lokal seringkali hanya sebagai komoditi politik alias jualan kampanye diri. 

Dari sisi politik, apakah kita juga sudah benar-benar merdeka? Semakin jauh Anda menyelami politik nasional, semakin tahu bahwa peta perpolitikan nasional kita tidak lebih dari sekedar wayang, baik tokohnya maupun sistemnya. Sedangkan sang dalang sang pemilik modal tetaplah negara asing yang ingin mengeruk kekayaan alam negeri ini. Pemilu, Pilgub atau pil-pil lainnya (kecuali Pil KB), sarat dengan kongkalikong orang asing dan calon penguasa yang melacurkan diri.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: