Anak Gadis dan Anak Ayam

 Anak Gadis  dan Anak Ayam

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: AHMADI SOFYAN

Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

 

JIKA jam 6 sore anak ayam belum pulang ke kandang, 

orangtua kita sibuk mencari kemana sang anak ayam pergi. 

Tapi ketika anak gadis-nya jam 12 malam belum pulang dan berkeliaran, 

orangtua kita tenang-tenang saja dan tetap nyenyak tidurnya.

BEBERAPA hari yang lalu, saya komunikasi dengan seorang sahabat yang berprofesi sebagai Polisi di salah satu warkop (warung kopi) di Kota Pangkalpinang. Dalam diskusi kecil itu, sedikit ia bercerita tentang fenomena kehidupan bebas remaja dan narkoba di Kepulauan Bangka Belitung, khususnya Kota Pangkalpinang.

Sebagai seorang Polisi yang berada di lapangan, kepada saya, sahabat ini berbagi pengalaman sekaligus curhat keperihatinan terhadap fenomena pergaulan remaja di Bangka Belitung serta maraknya peredaran Narkoba. Saya sangat mengapresiasi curhat keprihatinan sahabat ini yang walaupun dirinya bukanlah putra Bangka Belitung alias pendatang, namun rasa kepeduliannya terhadap lingkungan dimana ia mengemban tugas sebagai abdi negara membuat saya menjadi malu sebagai seorang putra daerah. Disinilah pemahaman terhadap makna “putra daerah” secara luas ada “kepedulian” bukan sekedar “kelahiran”.

Anak Kita dan Orangtua Hari Ini

SEBAGAI orang yang dilahirkan di kampung, saya merasakan langsung perilaku kehidupan bermasyarakat di kampung. Kehidupan masyarakat kampung di mana saya dilahirkan dan mengenyam pendidikan dasar dan menengah ternyata penuh makna, terutama apa yang dilakukan oleh para orangtua-orangtua terdahulu terhadap pendidikan dan pergaulan anak-anaknya. Para orangtua dahulu di kampung yang tak berpendidikan tinggi dan bahkan tak memiliki pendidikan formal seperti kita sekarang ini. Namun, karena merasa diri bukanlah siapa-siapa, tidak merasa pintar, sehingga rasa khawatir dan rasa kepedulian terhadap perkembangan dan pergaulan anak-anaknya sangatlah kokoh dan patut menjadi contoh (teladan). Sebaliknya dengan kita sebagai orangtua hari ini yang merasa pintar dan berpendidikan sangat tinggi namun rendah rasa. Nasehat yang orangtua kita dahulu begitu tertanam dalam sanubari anak-anaknya dan setiap kalimat terucap menjadi pedoman dalam pergaulan dan kehidupan sosial sang anak.

Kepada saya sang sahabat (Polisi) terebut berbagi pengalaman bagaimana ia kerapkali menemui para remaja berkumpul di tempat baik remaja putra maupun putri yang kadangkala busananya sangatlah menonjolkan lekuk tubuh dan bahkan terbuka. Kepada mereka sahabat ini kerapkali ngobrol dan menanyakan: “Apa orangtua tidak mencari atau menelpon atau menanyakan kok jam segini belum pulang?”. Dengan santai mereka menjawab: “Tidak”. Inilah yang menurut sahabat saya itu permasalahan yang dihadapi para remaja di Bangka Belitung. Juga dari sinilah maraknya pergaulan bebas serta narkoba yang menjerumuskan generasi muda kita. Poin yang saya tangkap, bahwa di era teknologi yang canggih seperti sekarang ini ternyata untuk komunikasi dengan sang anak bahkan anak gadis yang tak pulang hingga pagi berkeliaran, pun ternyata orangtua kita masa kini enggan melakukannya. Dalam hal ini saya teringat kepada Mak saya di kampung yang selalu aktif mengikuti perkembangan anak gadisnya, termasuk pergaulan, sahabat, bahkan jam malam yang ia gunakan hingga anak gadisnya menikah. Padahal tanpa alat komunikasi yang canggih seperti sekarang ini. Hanya mulut dan rasa “kawa” yang digunakan orangtua untuk menasehati bahkan mencari atau mendatangi bahkan mengecek langsung sang anak gadis dimana ia berada. Mengecek langsung apakah alasan keluar rumah sesuai dengan kenyataan. 

Selain itu, saya juga punya kawan karib yang nakal sehingga banyak tahu dan sangat berpengalaman tentang kehidupan gelap remaja masa kini di kampung-kampung, bahkan kampung yang dianggap kawasan santri sekalipun yang membuat berdiri bulu kuduk mungkin juga bulu-bulu yang lain ketika ia membeberkan cerita serta bukti-bukti komunikasinya dengan para ABG (Anak Baru Gede) di kampung-kampung. “Sekarang ne yang umor 16 sampai 17 taon banyek yang nawarin diri. Cukop duit 100 ribu atau beli pulsa, lah dapat dipakai. Tempat makai e terserah kite, bisa di kebun, bisa dibawek ke tempat-tempat kosong. Di kampong-kampong tu  banyek umon sekarang” begitulah kawan saya membeberkan pengalaman-pengalamannya tentang gadis-gadis kampung.  Saya yang mendengar juga sangat penasaran begitupula kawan di samping saya sambil tertawa ngakak mendengar berbagai ocehan kawan karib saya yang nakal itu sambil ia menunjukkan komunikasinya dengan cewek-cewek di handphone. 

***

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: