Rumah Sakit DKT dan DKR

Rumah Sakit DKT dan DKR

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’ Akhmad Elvian, DPMP, ECH - Sejarawan dan Budayawan Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

BERITA tentang keberadaan Rumah Sakit sebagai fasilitas kesehatan di Pulau Bangka dapat dipelajari dari beberapa buku, laporan dan catatan Belanda. 

Rumah sakit di Pulau Bangka pada awalnya didirikan untuk merawat orang korban perang. Pada saat perlawanan rakyat Bangka dipimpin oleh Depati Amir, seorang petinggi militer Belanda W.A. van Rees, dalam bukunya: Wachia, Taykong en Amir, Rotterdam: H.Nijgh,1859, menyatakan: “Pasukan-pasukan yang didatangkan itu berturut-turut kembali ke Jawa. Mereka tidak dapat berbangga pada perwira-perwira perang yang gemilang, pada kemenangan yang diperoleh dalam asap mesiu dan genangan darah; mereka hanya menunjuk pada wajah-wajah mereka yang lesu, tak sehat pada anggota-anggota badan mereka yang kurus, pada tempat-tempat yang kosong dalam barisan mereka dan pada Rumah Sakit Mentok yang penuh”. 

Akibat dari peperangan tidak saja menimpa pasukan militer Belanda dan pasukan pejuang Bangk, akan tetapi juga berdampak buruk pada penduduk. Kondisi penduduk pulau Bangka setelah berkecamuknya  perang, sangat mengkhawatirkan. Di samping kekurangan bahan pangan, garam dan obat-obatan, berbagai macam penyakit seperti demam, disentri dan cacar air serta kolera melanda penduduk. Untuk mengatasi berbagai macam penyakit tersebut, berdasarkan Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1851, Bundel Bangka No. 42, dilakukan pengobatan dan vaksinasi dengan baik oleh seorang petugas vaksin pribumi yang sejauh ini ditempatkan di ibukota. Dalam laporan residen Bangka, Tanggal 10 Januari 1852 Nomor 131, dokter sipil diminta untuk menyebarkan cara kerja ini ke daerah sekitarnya. Dengan kedatangan saya (residen) kemarin (inspeksi), diketahui bahan vaksin cacar itu sudah usang. Saya telah meminta bahan baru dari Palembang dan juga menyampaikan kepada perwira kesehatan di Toboali agar segera menarik vaksin usang. Dalam surat saya Tanggal 3 Mei 1851 Nomor 2465, kepada pemerintah diminta sejumlah besar dana karena jumlah yang tersedia f 280 terlalu sedikit, sehingga perlu dianggarkan setiap tahun, agar anggaran kesehatan untuk penduduk cukup memadai. Toboali pada masa setelah perang yang dipimpin oleh Depati Amir juga dijadikan sebagai tempat untuk penahanan orang rantai dan orang buangan serta Rumah Sakit Militer yang menangani pasien sampai ke distrik Koba, sedikitnya sebanyak 22 orang dari 146 orang narapidana pemerintah yang dirantai ditempatkan di Toboali dan para narapidana dipekerjakan untuk mengerjakan proyek militer yang ada di distrik Toboali. 

Pemerintah Kolonial Belanda, setelah perang rakyat Bangka yang dipimpin oleh Depati Amir sedikit mulai memperhatikan kesehatan, pendidikan dan kehidupan keagamaan masyarakat. Satu-satunya yayasan Rumah Sakit untuk Orang-orang Cina penderita Lepra di Kota Mentok, memperoleh bantuan dari pihak pemerintah melalui ketentuan berdasarkan keputusan tanggal 15 Juli 1850 Nomor 11. Pajak yang dikenakan untuk pengiriman uang perak Spanyol oleh pekerja-pekerja tambang ke Cina yang dipungut di Muntok Sepertiganya dikirim ke Cina dan sisanya disalurkan untuk membantu operasional yayasan rumah sakit. (Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, Bundel Bangka No. 41).

Pendirian rumah sakit untuk kepentingan militerpun terus dibangun pemerintah Hindia Belanda di Pulau Bangka, khususnya di Kota Pangkalpinang. Berdasarkan publikasi D. Schoute “De Geneeskunde in Nederlandsch-Indie in de 19e eeuw”, GTNI 75 (1935) 10, 827, Rumah Sakit Garnisun Kelas 3 di Pangkal Pinang (Banka) (The garrison hospital 3rd class at Pangkal Pinang (Banka)) disebutkan dalam publikasi Artikel tersebut mengacu pada survei semua fasilitas militer pada Tahun 1867. Pada tahun itu rumah sakit garnisun Pangkal Pinang memiliki rata-rata 29 pasien rawat inap. Rumah sakit garnisun kelas 3 di Pangkal Pinang (Banka) merupakan bagian dari Military Medical Service, yang pada tahun 1867 (tahun survei semua fasilitas militer) mengelola total 79 fasilitas (3 rumah sakit militer besar, 35 rumah sakit garnisun dan 41 rumah sakit) dengan rata-rata 4.244 tempat tidur yang ditempati. Sekitar 25 tahun kemudian, Lampiran D. Koloniaal Verslag 1890 melaporkan total 3.358 pasien rawat inap pada akhir tahun itu, sedangkan 52.631 pasien telah dirawat di seluruh Hindia Belanda. Laporan tersebut menyangkut 28 rumah sakit militer, 54 ziekenzalen (rumah sakit) dan 6 fasilitas khusus, termasuklah yang dirawat di Rumah sakit garnisun kelas 3 di Pangkal Pinang (Banka). Berdasarkan Koloniaal Verslag 1888 (39): pembangunan rumah sakit baru di Pangkal Pinang telah dimulai. Di Rumah Sakit Pangkal Pinang, 76 pasien dirawat pada tahun 1889. Situasi pada akhir tahun 1890: tidak ada pasien yang datang. Gedung atau bangunan yang menjadi Rumah Sakit Garnisun kelas 3 di Pangkalpinang, dalam perkembangan sejarahnya, setelah kemerdekaan, kemudian pada tanggal 26 Oktober 1945  diambilalih dan menjadi Bagian dari Kesehatan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) dengan nama Dinas Kesehatan Tentara atau lazim disebut DKT. Bagi masyarakat Bangka Jalan di depan DKT sangat kental di telinga dengan sebutan Simpang DKT.

Karena mewabahnya (epidemi) penyakit Beriberi di Pulau Bangka sejak Tahun 1860, maka pada Tahun 1895, rumah sakit dibangun di seluruh distrik pertambangan (kecuali Merawang) dan “Dokter Jawa”, Orang Pribumi Indonesia yang mendapatkan Pendidikan Medis, ditugaskan untuk mengobati yang sakit lainnya, di luar penyakit Beriberi (Heidhues, 2008:67). Rumah sakit yang didirikan di seluruh Distrik Pertambangan Timah, ditujukan sebagai fasilitas kesehatan bagi pekerja-pekerja Tambang Timah. Rumah sakit-rumah sakit di distrik pertambangan kemudian berkembang menjadi cikal bakal rumah sakit yang dikelola oleh Perusahaan Tambang Timah Belanda BTW (Bankatinwinning) sejak 3 September 1913 hingga Tahun 1949, termasuklah rumah sakit BTW yang ada di Kota Pangkalpinang. Setelah perusahan Timah BTW/GMB dinasionalisasi menjadi Perusahaan Negara Tambang Timah, pada Tanggal 28 Februari Tahun 1952, rumah sakit yang awalnya dikelola BTW kemudian dikenal masyarakat dengan nama Rumah Sakit TTB. 

Keberadaan Rumah Sakit di Kota Pangkalpinang memang sangat dibutuhkan sebagai fasilitas kesehatan penduduk. Jumlah penduduk Pangkalpinang yang perlu mendapatkan layanan kesehatan relatif cukup besar. Berdasarkan Volkstelling Tahun 1920 atau sensus Tahun 1920 terdapat 67.398 orang Tionghoa di Pulau Bangka dari keseluruhan penduduk yang berjumlah 154.142 orang. Proporsi orang Tionghoa (44,6 persen) telah meningkat besar setelah Tahun 1905 (38 persen). Sementara Penduduk Pangkalpinang berjumlah 15.666 orang dengan jumlah orang Tionghoa 68,9 persen (Heidhues, 2008:180). Sejak Tahun 1816 Pangkalpinang adalah sebuah distrik dari Keresidenan Bangka en Onderhoorigheden. Sejak Tanggal 3 September 1913 menjadi Ibukota Keresidenan Bangka en Onderhoorigheden.  Ibukota distrik Pangkalpinang adalah Pangkalpinang. Distrik Pangkalpinang pada Tahun 1930 dengan jumlah penduduk  52.000 orang, di antaranya 273 orang Eropa dan 21.000 orang Cina. Penduduk Orang Melayu bergantung pada hasil pertanian (Lada dan Beras) dan Perikanan. Orang Cina dipekerjakan di pertambangan Timah atau dalam perdagangan, pertanian atau perikanan (Goggryp 1934, 1128).

Setelah kemerdekaan dan berdasarkan Penjelasan Bersama terhadap Undang-Undang Darurat Nomor 4,5 dan 6 Tahun 1956, Tentang Pembentukan Daerah Otonom Kabupaten-kabupaten, Kota-Kota Besar dan Kota-Kota Kecil dalam Lingkungan Daerah Propinsi Sumatera Selatan, dinyatakan hal-hal yang termasuk Urusan Rumah Tangga dan Kewajiban Kabupaten, Kota Besar dan Kota Kecil yang salahsatunya adalah Urusan Kesehatan meliputi; (a). Mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit umum dan balai pengobatan umum, (b). mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit khusus dan balai pengobatan khusus, jika dipandang perlu, (c). menyelenggarakan dan mengurus pengeringan tanah, pengusahaan air minum, penanganan  kotoran dan lain-lain hal yang bersangkutan dengan usaha-usaha memperbaiki kesehatan dan mencegah timbulnya penyakit dalam lingkungan daerahnya, (d). menyelenggarakan dan mendirikan balai nasehat bayi, balai orang hamil dan balai kesehatan sekolah, (e). menyelenggarakan pendidikan rakyat dalam pengetahuan kesehatan di dalam lingkungan daerahnya, (f). mengadakan anjuran dan penerangan menuju ke arah perbaikan kesehatan dan perumahan rakyat, (g). turut menyelenggarakan usaha pembanterasan dan pencegahan penyakit menular dan penyakit rakyat yang ditugaskan oleh Propinsi Sumatera-Selatan, (h). mengadakan dan memelihara statistik kesehatan rakyat. Dalam konteks Urusan kesehatan yaitu mendirikan dan menyelenggarakan rumah sakit umum dan balai pengobatan umum, maka di Pangkalpinang berdiri Rumah Sakit Dinas Kesehatan Rakyat (DKR). Rumah sakit DKR terletak di Kacang Pedang, dekat SMA Negeri 1 Pangkalpinang.  Untuk DKR Pangkalpinang wilayah kerjanya meliputi wilayah Kabupaten Bangka dan Kota Pangkalpinag. Pimpinan DKR sering disebut dengan istilah Dokabu (Dokter Kesehatan Kabupaten). Dokter- dokter yang pernah menjadi pimpinan DKR Pangkalpinang antara lain; dr. Liem Soei Fo, dr. Lim Chai Lie, dan dr. Sabdo Waluyo. Berdasarkan Inpres Nomor 5 Tahun 1974, DKR kemudian diubah namanya menjadi Puskesmas Kacangpedang pada Tahun 1975. 

Saat ini DKT di Pangkalpinang sedang dibangun menjadi rumah sakit yang modern dengan tetap mempertahankan keaslian bangunan awalnya sebagai Rumah Sakit Garnisun (The garrison hospital 3rd class at Pangkal Pinang (Banka)) karena merupakan salah satu bangunan Cagar Budaya. Konon kabarnya Rumah Sakit DKR atau sekarang dengan nama Puskesmas Kacangpedang juga akan dibangun. Dalam pembangunan hendaklah diperhatikan nilai penting sejarah bangunan tersebut dan jangan sampai dibongkar, karena bangunan memiliki nilai penting bagi sejarah rumah sakit di Pulau Bangka dan terutama sejarah bidang kesehatan. Undang undang Nomor 11 Tahun 2010 mengatur, bahwa Objek Diduga Cagar Budaya pun harus dilindungi sama halnya dengan Cagar Budaya. Dinas pengampu Kebudayaan dan dinas pengampu kesehatan di Kota Pangkalpinang harus memperhatikan hal ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: