KPK, Kena Paber Kepala

KPK, Kena Paber Kepala

Ahmadi Sofyan--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya

RASA-Rasanya tidak seorang pun yang tidak “kededep” kalau sudah dipanggil atau diperiksa oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi), apalagi seorang pejabat negara. Manusia, sering ngerasa “jago” & “hebat”, padahal setipis kulit bawang kehebatan yang dimiliki.

Sejak dibentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), harapan rakyat terhadap penegakan hukum di ranah korupsi, sangatlah besar. Hal ini terus dibuktikan KPK sejak beberapa periode. Orang-orang yang kita anggap hebat selama ini berkoar-koar di media, di panggung dan singgasana kehebatannya, di layar kaca dan dikelilingi oleh para punggawa-punggawa serta tim hore yang selalu memuji, ternyata tidak ada kehebatan diri ketika sudah berada di ruangan pemeriksaan KPK. Begitulah yang selama ini saya dengar. 

Pernah beberapa kali masuk ke gedung KPK, tapi bukan untuk melaporkan atau diperiksa, hanya ada sedikit kegiatan. Rasanya lumayan “kededep” juga, khawatir nanti bisa sampai sini diperiksa. Alhamdulillah, sebab diri bukanlah siapa-siapa di negeri ini, nyonya juga tidak punya barang mewah, jabatan tak pernah ada apalagi jual beli jabatan, pengusaha juga tidak pernah investasi, sehingga tidak perlu nyuap saya sana sini, akhirnya memang benar-benar menikmati hidup sebagai manusia nyaman dan enak. paling yang nggak enaknya, kalau ada tagihan, duit belum punya. Itu saja….

KPK memang bukanlah kumpulan para malaikat, tapi juga bukan pula gerombolan Iblis berwajah bidadari, sebab selama instansi itu isinya adalah tetap manusia, pasti ada baik dan buruknya. Namun, dengan berdirinya KPK, harapan akan penegakan hukum bagi para koruptor cukup memuaskan ditengah masyarakat yang kian kritis. Tidak hanya menunggu laporan masyarakat, namun KPK juga membaca situasi, memantau kehidupan sosial pejabat dan keluarganya. Walaupun yang disorot adalah wilayah korupsi dan kolusi di wilayah jabatan, namun pintu masuk bagi KPK untuk memantau dan memeriksa seorang pejabat cukup banyak. Salah satunya adalah pintu masuk melalui keluarga (kehidupan anak dan isteri).

Beberapa contoh akhir-akhir ini membuat kita terbelalak akan kehidupan glamour yang dipertontonkan oleh isteri dan anak-anak pejabat negara. Hal ini sangat bertolak belakang dengan sejarah kehidupan para pembesar negeri di masa silam yang hidupnya sangat sederhana dan bahkan ada sekelas Menteri yang kurang gizi, isterinya terpaksa ngutang beras, Menteri yang tidak mampu bayar listrik di rumah pribadinya, hingga Wakil Presiden Mohammad Hatta yang sangat mengidam-idamkan sepatu bermerek Bally hingga ia harus menabung dan tak mampu membelinya. Padahal, kalau saja mereka mau dengan apa yang mereka inginkan itu, tinggal perintah dan tunjuk saja, tinggal ngomong sindir dikit ke pengusaha. Saya yakin, pagi ngomong, siangnya barang datang. Nah, kalimat pagi ngomong basa-basi, siang hari barang sudah datang, begitulah yang banyak terjadi saat ini di kalangan pejabat negara kepada bawahannya atau pengusaha yang mau investasi dan membutuhkan rekomendasi atau izin sana sini. Lalu para bawahan yang bermental penjilat, umumnya segera memenuhi dan mencari tahu apa kebutuhan Sang Boss atau isterinya atau anaknya. Mau mungkiri? Hayooo…?

Pejabat yang memang sudah lama kaya dalam artian memang sejak sebelum menjadi pejabat sudah kaya raya, umumnya diri dan keluarganya tidak akan show terhadap kekayaan yang dimiliki. Tidak perlu pamer di media sosial merek mobil dan kemewahan rumahnya, tidak juga nunjukin tumpukan uang di berkas dalam kamar tidur, apalagi nunjukin tas, sepatu, sandal dan jam tangan mewah yang nenek-nenek di kampung bisa pingsan kalau diberitahu berapa harganya.

Kecerdasan KPK dalam mencari pintu masuk seorang pejabat negara itu memang sudah disadari oleh rakyat medsos (nitizen). Berapa banyak karena kejelian nitizen, akhir-akhir ini pejabat dan keluarganya yang OKB (Orang Kaya Baru) menjadi kelabakan. Rafael Alun Trisambodo karena anaknya Mario Dandy yang menganiaya David, akhirnya kehidupan sang anak yang masih beliau itu diserang nitizen. KPK pun akhirnya menjadikan itu sebagai pintu masuk utuk Rafael Alun Trisambodo dan menjadi tersangka kasus gratifikasi dan lain sebagainya. Begitujuga dengan Kepala BPN Jakarta Timur, Sudarman Harjasaputra yang akhirnya dicopot dan diperiksa KPK akibat flexing sang isteri yang hidupnya diluar batas kewajaran. Beberapa contoh lain lagi pun menjadi sorotan masyarkat, terlebih bagi pejabat yang angkuh, sombong, antara omongan dan otak serta hati bertolak belakang. 

Flexing isteri dan anak adalah pintu masuk bagi KPK kepada seorang pejabat negara. menurut saya, apa yang dilakukan oleh KPK dalam meminta klarifikasi terhadap LHKPN, itu artinya KPK sudah memiliki data yang mereka konfirmasi. Apakah seseorang itu akan dijadikan tersangka karena isteri atau anak flexing? Tidak semudah itu, tidak sekonyol itu menetapkan seseorang menjadi tersangka. Tapi ada hal lain yang KPK data yakni berkaitan dengan gratifikasi proyek dan jual beli jabatan. Nah, lho…. Inilah yang sebenarnya seringkali tidak bisa terelakan dan terbantahkan kala KPK sudah memiliki data (bukti). 

Kita tunggu saja, bagaimana para pejabat-pejabat yang menjadikan jabatan sebagai alat untuk memperkaya diri, tapi mulutnya bicara mengabdi. Kita lihat saja bagaimana anak dan isteri yang hidup diatas awan, seakan rakyat jauh terbelakang, sehingga urat malu-nya putus. Ketika KPK sudah bicara, siapa yang mampu membantahnya? Ketika hukum sudah berdiri tegak, angin mana yang mampu menggulingkannya? Sudahlah, manusia ada yang baik ada yang buruk, apapun jabatan dan profesinya. Kita hidup hanya menunggu giliran untuk dimatikan Tuhan.

***

BEBERAPA tahun lalu, saya ngobrol dengan guru saya, Allahuyarham Kiyai Haji Ahmad Hijazi Jamain. Dalam obrolan itu, Sang Kiyai Kharismatik dan sering bercanda dengan menyingkat kata ini, berseloroh kepada saya mengenai maraknya pejabat negara yang berurusan dengan KPK. Kepada saya, Kiyai Ahmad Hijazi Jamain menyebutkan kalau sudah masuk KPK itu artinya “Kena Paber Kepala”. “Paber” dalam bahasa Bangka bermakna “ditempeleng”. Nah, wajar dong kalau abis keluar dari gedung pemeriksaan di KPK, Walikota Pangkalpinang (PGK apa Pangkalpinang sih?) itu agak puyeng, salah jalan pulang dan gelagapan kalau ditanya wartawan sehingga harus “cak-cak tuli” (menurut pemberitaan media) dan mulut yang ditutupi masker membungkam. Maklumi dong dan masihkah menjadi Kota benar-benar Seribu Senyuman (rakyat)?

Ah sudahlah!!

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: