Urang Zaman Kinek
Ahmadi Sofyan--
Persahabatan semu begitulah saya menyebut kalimat “persahabatan” manusia modern. “Laen cara bekawan urang kinek ne” (Beda cara berteman orang-orang zaman sekarang), begitulah ungkapan masyarakat Pulau Bangka di kampung-kampung. Persahabatan atau pertemanan semu menjadi “budaya” bagi masyarakat modern. Semakin canggihnya teknologi, maka semakin semu segala ucap dan kata yang ditulis di media-media sosial. Makanya tidaklah heran terjadi “latto-latto” (benturan) begitu mudah terjadi dalam kehidupan masyarakat kita.
Kehidupan sosial saat ini, kita menyebutnya bersahabat, tapi tidaklah rekat dan sangat tersekat. Kita merasa sudah dekat, padahal jauh yang teramat sangat. Kita merasa bersaudara, tapi tidak saling tahu keluarga. Kita hanya bertemu di dunia maya, tapi tak pernah ketemu di dunia nyata. Kita sering bertemu, tapi tak pernah bertamu (“nampel” ke rumah). Inilah yang saya sebut dengan Silaturrahmi Semu kaum modern. Bahkan berita kematian hanyalah sekedar berita dan rasa duka cukup dengan ketikan di layar Handphone “Turut Berduka Cita” atau “Innalillahi wa inailahi roojiuun” bahkan copy paste dari ketikan kawan sebelumnya.
Ternyata, harus diakui, bahwa begitu rapuh silaturrahmi dan persahabatan bahkan kekeluargaan ditengah kehidupan sosial kemasyarakatan kita. padahal, orangtua kita tempo doeloe, berada ditengah hutan, mendengar kematian tetangga dan kenalan, langsung ia tinggalkan pekerjaan dan menuju ke rumah duka. Begitu indah silaturrahmi yang mereka jalin, hakiki bukanlah semu.
5. Nasehat Hanya dari Otak dan Kepintaran Berbicara
Kecanggihan teknologi dan mudahnya tampil diberbagai jenis media sosial seperti sekarang ini, maka bertebaran nasehat-nasehat indah dan kata-kata bijak. Begitu banyak orang nongol di media sosial, “mendadak bijak”, “mendadak filosof”, “mendadak Ulama” “mendadak Tokoh” dan “mendadak wartawan” karena selalu ingin jadi yang pertama menyebarkan.
Sayangnya, nasehat indah tersebut seringkali bukanlah dari hati, namun sekedar otak dan kemampuan merangkai kata yang menjadi bahasa. Akhirnya, justru nasehat-nasehat indah tersebut menjadi “latto-latto” alias saling berbenturan dengan kenyataan. Nasehat tidak dari hati akan berubah menjadi komedi dan tragedi. Petatah-petitih yang menjadi perih kala tak sesuai antara kata dan kenyataan yang ada.
6. Cinta Sebatas Cerita, Berbagi Sebatas Gengsi
Kalau masyarakat tempo doeloe berbagi karena cinta dan kasih sayang, fenomena sosial masyarakat modern berbagi karena gengsi dan kepentingan. Akhirnya yang sering kita saksikan banyak barang bertebaran dibagikan, namun tanpa nilai dan makna kepada yang dibagikan (penerima). Inilah yang membedakan nilai antara pemberian masyarakat tempo doeloe dengan masyarakat modern sekarang ini. Oleh karenanya, berbagi kadangkala justru bagian dari alat “latto-latto” ditengah kehidupan sosial masyarakat modern.
Sebesar apapun nilai materinya, namun ketika pemberian penuh dengan kepentingan semu, maka tidak akan memiliki nilai yang bermakna dalam kehidupan sosial kemasyarakatan maupun individu.
***
NAH, sebetulnya masih sangat banyak perilaku sosial manusia zaman “kinek” (sekarang) yang jauh bertolak belakang dengan keindahan dan keintiman perilaku sosial manusia zaman “duluk” (tempo doeloe). Jika kedua ini kita padukan, alangkah indah dan damai kehidupan kita hari ini. Bukankah begitu?!
Salam kedamaian!(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: