Tenun Cual Kriya Etnik Kagunan Bangka (Bagian Satu)

Tenun Cual Kriya Etnik Kagunan Bangka (Bagian Satu)

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Oleh: Dato’Akhmad Elvian, DPMP - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan Indonesia

PADA tanggal 20 Mei 1812 Masehi, pasukan Inggris di bawah pimpinan Jenderal Robert Rollo Gillespie menguasai Kota Mentok dan kemudian memproklamirkan, bahwa Inggris berkuasa atas pulau Bangka serta mengubah nama pulau Bangka menjadi Duke of York’s Island dan nama Mentok diubah menjadi Minto untuk kehormatan bagi Sir G. Elliot Earl of Minto, seorang gubernur jenderal Inggris di India. 

Pada masa pemerintahan residen Inggris untuk Palembang dan Bangka, MH Court, jabatan tumenggung di pulau Bangka yang berkedudukan di Kota Mentok dihapuskan dan wilayah administrasi pemerintahan dan pertambangan di pulau Bangka dibagi atas tiga divisi yaitu pada bagian Utara pulau Bangka (northern division) terdiri atas 4 stocade, wilayah bagian Barat pulau Bangka (western division) terdiri atas 5 stocade dan terakhir wilayah bagian Selatan Timur pulau Bangka (south east division) yang meliputi hampir separuh pulau Bangka terdiri atas Pangkalpinang (stocade of Pangkal Penang), Sungaiselan (Godong Selan), Bangkakota (Old Settlement of Banko Kotlo), Koba (Koba), Paku (Pakoo), Permis (Permissang), Olim (Oolim), dan Toboali (stocade of Tooboo-alie) (Elvian, 2012: 64-65).

Pemerintahan di Kota Minto (Muntok) setelah dihapuskannya jabatan tumenggung kemudian diatur oleh residen Inggris untuk Palembang dan Bangjka  MH Court yaitu, diserahkan kepada Abang Muhammad Saleh, bergelar rangga citra nindiata diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Keranggan, kemudian kepada Abang Yunus bergelar demang wirada perana diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Pemuhun dan Kampoeng Patemun (Kampung Teluk Rubiah), dan selanjutnya kepada Abang Muhammad yang menjadi jurutulis diberi wilayah kekuasaan atas Kampoeng Jiran-Peranakan dan Kampoeng Siantan (Kampung Tanjung), serta kepada Abang Abdul Raoef bin Abang Tawi (pemimpin orang-orang Muntok yang pindah ke Lingga dan Singkep) yang kemudian membantu Inggris dalam menaklukkan Palembang diberi kekuasaan atas Kampoeng Pekauman Dalam.

Pada masa Inggris berkuasa, Kota Mentok sebagai tempat kedudukan Residen Bangka sangat terkenal karena berbagai kemajuannya. Perempuan-perempuan dalam Kota Mentok terutama yang tinggal di kampung-kampung seperti Kampung Pemuhun dan Kampung Patemun (sekarang Teluk Rubiah) pada masa itu pekerjaannya bertenun, membuat kain dan selendang dari benang sutra dan ada juga yang dicampur dengan benang emas terutama untuk pakaian orang-orang perempuan. Kain tenun Muntok itu disebut dengan nama kain Cual. Kain ini kemudian diperdagangkan orang ke negeri lain seperti ke Palembang, pulau Belitung, Pontianak, Singapura dan pada bagian lain tanah melayu. Harga selembar kain Cual pada waktu itu berbentuk selendang berkisar paling murah f 25,- sampai f 100,-.

Menenun kain Cual, awalnya merupakan tradisi kekriyaan bangsawan di Mentok yang bergelar “Abang” dan “Yang”, terutama perempuan keturunan dari Ence' Wan Abdul Hayat (Lim Tau Kian). Pada sekitar abad 19 Masehi, tenun Cual merupakan salah satu kriya etnik nusantara yang memiliki fungsi religius, untuk upacara, dan kepentingan magis. Fungsi primer dari tenun Cual adalah sebagai pakaian kebesaran bangsawan di Bangka, pakaian pengantin atau upacara yang berhubungan dengan daur kehidupan (life cycle) dan pakaian pada hari-hari kebesaran Islam dan adat lainnya, sebagai hantaran pengantin ataupun sebagai mahar pada acara nyurung barang yang langsung menggambarkan status sosial (pangkat dan kedudukan) seseorang pada masa itu da nada juga yang dijadikan hiasan didinding pada rumah. 

Cual sendiri berasal dari kata “celupan awal”  pada benang yang akan diwarnai. Tenun Cual merupakan perpaduan antara teknik sungkit (songket) dan tenun ikat, namun yang menjadi ciri khasnya yang mendasar adalah pada susunan motif yang menggunakan teknik tenun ikat, hal inilah yang menjadikan tenun Cual sebagai kriya etnik Melayu Bangka dan membedakan dengan jenis tenunan dan songket dari etnis lainnya di nusantara. Jenis motif tenun Cual umumnya dengan susunan motif bercorak penuh dan motif ruang kosong  dari dua jenis motif tersebut terkandung makna simbolik dan filosofis yang mendalam bagi pemakai dan orang yang memandangnya. Kehalusan tenunan, tingkat kerumitan motif, ide garapan yang dipakai dan warna pada tenun Cual mengandung makna filosofi hidup, hasil kontemplasi perjalanan religi dan budaya penenunnya dan sebagai lambang identitas serta karakter budaya Melayu Bangka. Tenun Cual sangat terkenal karena tekstur kainnya yang begitu halus, adanya harmoni antara sungkit, ikat dan motif sehingga tidak ada sesuatu yang dominan dari yang lain, warna celupan benangnya tidak berubah, dan ragam motif seakan timbul jika dipandang dari kejauhan sebagai simbol masyarakat Melayu Bangka yang rendah hati dan selalu menjaga marwah. 

Produksi tenun Cual di pulau Bangka sempat terhenti dalam waktu relatif lama karena terputusnya pasokan bahan baku pada saat terjadi Perang Dunia Pertama di Eropa tahun 1914 sampai 1918 Masehi. Seiring dengan itu pemindahan ibukota Keresidenan Bangka pada tanggal 3 September 1913 juga menjadi penyebab. Harga sutra, benang emas dan lain-lain keperluan dalam menenun bukan saja tinggi harganya, tetapi hampir tidak ada yang menjual, baik di Kota Mentok maupun di Singapura. Pada sekitar tahun 1990, Dinas Perindustrian Kota Pangkalpinang kembali menggalakkan kerajinan tenun Cual di pulau Bangka. Kelompok usaha kerajinan Cual saat ini masih terbatas pada anggota keluarga, saat ini terdapat cukup banyak pengrajin Cual yang tersebar di pulau Bangka dan pulau Belitung termasuk di Kota Pangkalpinang dengan produksi dan kapasitas produksi yang masih terbatas baik dari segi kuantitas dan kualitas maupun dari sisi harga yang masih bervariasi serta relatif mahal. Saat ini pengguna tenun Cual pun hingga ke luar pulau Bangka, bahkan telah diperjualbelikan keseluruh penjuru dunia dan pengguna tenun cualpun tidak lagi terbatas pada bangsawan saja.

Sebagai salah satu potensi kepariwisataan, tradisi kekriyaan berbasis pada kekayaan alam dan budaya merupakan potensi yang harus dikembangkan dan salah satu upaya pengembangan tersebut adalah melalui pembentukan dan pengembangan sentra industri Cual. Melalui pengembangan yang terarah dan terpadu, diharapkan akan dapat memberikan manfaat bagi masyarakat setempat di dalam pengentasan kemiskinan sekaligus peningkatan kesejahteraan. 

Kata ‘kriya’ berasal dari kata dalam Bahasa Sanksekerta, dalam konteks kesenian hindu yang dialihkan ke dalam bahasa Jawa Kuno, berarti “pekerjaan, tindakan, khususnya pekerjaan yang berkenaan dengan upacara keagamaan”. Kekriyaan terkait dengan kebiasaan budaya dan aturan budaya masyarakat di suatu daerah, berhubungan dengan sejarah dan kehidupan pada masa lampau terutama kehidupan para bangsawan, benda-benda yang terkait dengan tradisi, upacara ritual, maupun seremonial. Kriya secara umum dipahami sebagai produk yang dikerjakan secara manual dan bersifat fungsional kontekstual (geokultural). Kriya menyatu dengan manusia dan eksistensinya. Produk kriya merupakan artefak dari kurun budaya tertentu, bukti dari suatu tingkatan peradaban, oleh karena itu produk kriya berkembang seirama dengan tuntutan perubahan sumber daya lingkungan, baik lingkungan alam, fisik, budaya, pangsa pasar, lokal maupun global.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: