Pariwisata “Mencadin”
Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--
Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku/Pemerhati Sosial Budaya
PARIWISATA kita khususnya di Pulau Bangka masih kategori “Mencadin”. Ada dan ketiadaannya tak pernah diketahui secara pasti, tapi sering dibicarakan.
Pariwisata kita masih kategori “Mencadin”. Begitulah perumpamaan “keras” ataukah berjenis “kasar” yang saya ungkapkan beberapa waktu lalu, saat menjadi Pembicara dadakan dalam diskusi Pariwisata bersama PHRI (Perhimpunan Hotel & Restoran Indonesia) Bangka Belitung. Selain saya, ada Bambang Patijaya (Anggota DPR RI dan Ketua PHRI Babel), M. Taufik (Pimred Bangka Pos) dan Firman (Dinas Pariwisata & Kebudayaan Provinsi Kep. Bangka Belitung).
Mencadin adalah salah satu jenis hantu atau makhluk ghaib yang sangat populer di Kepulauan Bangka Belitung. Keberadaan dan ketiadaannya tak pernah diketahui secara pasti, namun selalu dibicarakan dan menjadi pembicaraan di semua kalangan, terutama masyarakat kampung. Pertanyaannya adalah siapakah Orang Bangka yang pernah melihat “Mencadin”? adakah makhluk tersebut ataukah sekedar mitos ataukah keberadaannya seperti ketiadaannya, ada tapi dak “nyengol” sehingga seperti tidak ada.
Suka tidak suka, kita harus berbicara jujur dan tegas bahkan kadangkala harus keras, bahwa Bidang Pariwisata di Pulau Bangka selama 22 Tahun menjadi Provinsi masih dalam kategori “Mencadin”. Kegagalan dalam mengolah pariwisata di Pulau Bangka (karena Belitung sudah cukup baik), disebabkan banyak faktor. Sepertinya sampai hari ini, kita tidak memiliki blueprint pariwisata. Dalam Blueprint itu pastinya berisikan tahapan, timeline, rencana, eksekusi rencana, anggaran, SDM dan lain sebagainya. Dalam blueprint juga harus adalah arsitektur pariwisata yang berkarakter. Apakah barang yang kita jual? Budaya? Kuliner? Alam? Bangunan? Sejarah? Ataukah Mencadin beneran yang kita jual? Kalaulah arsitektur pariwisata ini sudah ada, maka akan ada rancangan dan bayangan. Sehingga kita bisa menganalisa kekuatana dan tantangan serta strategi penjualannya.
Pulau Bangka memiliki segalanya. Arsitektur berupa bangunan bersejarah, kuliner yang luar biasa enak dan disukai banyak orang, alam yang biasa-biasa saja, namun bisa diolah menjadi luar biasa, budaya yang tidak kokoh (hanya formalitas dan life service). Jika kita mengetahui kelebihan, kelemahan dan kekurangan tersebut, maka akan tahu dimana mencari dan membuat celah agar ini semua bisa menjual. Bukankah mangrove yang di Pulau Bali jauh lebih bagus Mangrove yang ada di Kurau? Tapi mengapa Mangrove Bali menjadi hebat dan didatangi wisatawan bahkan pemimpin dunia dalam G20? Bukankah Kuliner kita begitu sesuai dengan lidah atau selera orang Indonesia? Tapi mengapa tidak mampu kita “jual” sehingga mampu melewati “Nasi Padang” “Pempek Palembang” “Gudeg Jogja” “Pecel Blitar” bahkan kita kalah dengan “Pecel Lele Lamongan” dan lain sebagainya.
Jika kita menilisik sejarah dan budaya pertambangan, memang Pulau Bangka tidak pernah lepas dari pertambangan (timah). Ratusan tahun perut bumi Bangka ini dikuras kekayaannya (timah), sehingga ketika kita bicara pariwisata, maka tidak akan pernah lepas dari pertambangan. Pertanyaannya adalah, bagaimana mengelola pariwisata berbasis pertambangan? Apakah bekas-bekas kolong TI itu sudah ada blueprint untuk diolah pariwisata? Kemauan dan kemampuan Pemerintah serta SDM yang ada haruslah sinergi guna menjadikan hal ini lebih efektif dan efisien serta menjual.
Bali & Yogyakarta
Dalam mengolah budaya menjadi bagian penting dalam pariwisata, kita perlu banyak belajar pada Bali dan Yogyakarta. Dalam mengolah kecerdasan mengolah blueprint pariwisata kita perlu belajar pada Banyuwangi dan Jember. Bali adalah ikon pariwisata Indonesia. Banyak orang luar negeri lebih mengenal Bali ketimbang Indonesia. Kekuatan Bali bukan hanya pada alamnya, tapi adalah budayanya. Hanya dengan selembar kain berwarna putih dan hitam kotak-kotak, maka otamatis otak kita berpikir “Bali”. Sekali lagi hanya berupa selembar kain hitam putih kotak-kotak seperti papan catur.
Bali dan Yogykarta memiliki kekuatan yang luar biasa dengan budayanya. Budaya Bali dan Budaya Jawa (Yogyakarta) mendarah daging pada kehidupan masyarakatnya. Sedangkan kita budaya Melayu hanya formalitas dan life service belaka. Bahkan kalau suatu saat kita berpakaian melayu, kawan-kawan sudah “ngolok” dengan kalimat: “Nek karnaval dimane?” atau “Nek main Dul Muluk aok?” dan sebagainya.
Padahal dalam Pariwisata, setidaknya ada 4 pertanyan yang harus kita jawab dengan keberadaan kita sebagai daerah wisata, yaitu: What to see, What to do, What to taste dan What to buy. Pertanyaannya adalah, ketika wisatwan yang datang ke Bangka, apa yang mereka lihat dan mereka lakukan (to do) sehingga datang ke Pulau Bangka ini ada “taste” yang tak terlupakan. Selanjutnya barulah kita berpikir what to buy alias oleh-oleh atau buah tangan. Sebab, berapa banyak yang menyaksikan sendiri kawan-kawan yang datang ke Pulau Bangka tidak merasakan taste sama sekali bahkan tidak melakukan apa-apa kecuali “gi ningok pantai” atau “kulineran” biasa-biasa saja.
Padahal, dengan kecanggihan teknologi dan media sosial yang kian canggih ini, tidaklah susah menjual pariwisata sebuah daerah. Hanya tinggal kecerdasan para pengambil kebijakan (Pemerintah) dalam mengolah hal tersebut. Sayangnya, blueprint Pariwisata masih belum nampak. Apa, bagaimana dan dimana masih berkategori “mencadin”. Untungnya sudah ada beberapa komunitas di kelompok yang mulai berusaha tertatih-tatih mengolah alam dan lingkungan dimana mereka berada agar jadi tempat wisata. Sayangnya, hal tersebut tidak berangsung lama, sebab “keberhasilan” dianggap kalau sudah ramai yang datang. Padahal yang datang hanyalah orang Bangka sendiri, bukan wisatawan nasional apalagi wisatawan mancanegara. Akhirnya, wisata apapun di Pulau Bangka hanya ramai sesaat. Terlebih dalam wisata itu tidak ada sejarah dan budaya, alias Cuma “gi ningok” dan befhoto untuk tarok di medsos.
Salam Pariwisata!(*)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: