Penggunaan Arak untuk Peribadatan di Bateng Masih Banyak Disalahgunakan
--
BABELPOS.ID, KOBA – Arak merupakan minuman fermentasi yang memiliki kandungan alkohol tertentu dan oleh masyarakat Tionghoa biasa digunakan untuk bagian peribadatan, seperti sembahyang kubur dan lainnya.
Namun berdasarkan aturan, minuman beralkohol ini ditertibkan oleh pemerintah daerah, sehingga muncul polemik dan menjadi perhatian banyak pihak.
Sementara itu, pada Pasal 140 dan Pasal 142 Undang-undang Nomor 18 tahun 2012 tentang Pangan, juga mengatur soal minuman beralkohol.
Jika mengacu pantauan lapangan Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Bangka Tengah (Bateng) diketahui bahwa arak yang biasanya digunakan untuk peribadatan masyarakat Tionghoa justru disalahgunakan dengan dengan tingkat konsumsi yang sangat banyak, padahal jika untuk peribadatan tentu jumlahnya tidak perlu banyak.
"Karena alasan mereka untuk sembahyang itu tidak masalah, tetapi kalau kami cek di tempat-tempatnya bukan untuk sembahyang lagi, karena jumlahnya yang banyak," ujar Kepala Seksi Pengawasan dan Penyuluhan Satpol PP Bateng, Eva Nur Fajriyanti kepada babelpos.id pada Rabu (5/10/2022).
Ia mengatakan, jika arak dan minuman beralkohol lain digunakan sebagai ritual ibadah, budaya dan obat itu tidak ada larangan selama sesuai prosedur, namun fakta di lapangan justru sebaliknya, para penjual arak berdalih hanya untuk ibadah dan budaya, tapi penggunaannya justru disalahgunakan.
"Kita sering razia arak ini, alasannya untuk ibadah dan juga budaya, tapi produksinya banyak sekali. Bahkan, sejauh ini banyak masyarakat yang menyalahgunakan arak dan sering kali dikonsumsi oleh pelajar maupun anak dibawah umur," tuturnya.
Ia menuturkan meski pemerintah belum mengatur secara pasti dalam perda, karena setiap penjual ataupun tempat produksi arak tidak memiliki izin edar maka produsen minuman beralkohol termasuk arak yang dijual secara bebas tetap ada sanksi hukum.
"Untuk minuman beralkohol jelas diatur dan ada tempat izin penjualan. Kalau arak tidak ada dan cuma kebijakan, karena digunakan untuk ibadah dan ritual budaya serta sebagai obat,” tuturnya.
Adapun sanksi tersebut sesuai Perda No.18 tahun 2007 dengan kurungan pidana penjara maksimal 3 bulan denda Rp5 juta per orang, untuk tempat yang menjual bebas alkohol denda maksimal Rp50 juta.
"Ini berlaku untuk oknum penyalahgunaan produksinya dan meminum ditempat yang tidak seharusnya. Apalagi produsen arak ini pindah-pindah,” ujarnya.
Lebih lanjut, Eva menegaskan bahwa produksi arak secara ilegal yang dijual secara bebas tetap tidak diperbolehkan, namun berbeda halnya jika arak untuk peribadatan dan telah mendapatkan izin bupati, hal tersebut tidak menjadi masalah.
Ia berharap penggunaan arak harus sewajaranya, jangan sampai meresahkan orang di sekitar.
"Selagi digunakan dengan baik, sesuai peraturan dan tidak disalahgunakan serta tidak mengakibatkan kegaduhan, maka arak tidak dipermasalahkan,” tutupnya. (sak/ynd).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: