Nakhoda Harus Selalu Tahu

Nakhoda Harus Selalu Tahu

Dalam dunia militer, sebuah prinsip terutama dalam Angkatan Laut (AL) seorang Perwira yang ditugaskan sebagai Kapten atau Komandan kapal perang sangat dilarang keras mengatakan “saya tidak tahu” atau “ndak mikir” apalagi sampai mengatakan “bukan urusan saya”. 

Mengapa? Karena tantangan seorang pelaut apalagi pelaut yang bertempur di samudera luas, musuh dan tantangannya bukan hanya manusia, tetapi juga alam (cuaca). Oleh karenanya nyawa para awak kapal tergantung kepada kemampuan dan kecerdasan sang kapten/nakhoda.

Sekali saja sang kapten salah mengambil keputusan, maka ia akan menghadapi dua hal, yakni tenggelam bersama atau anak buahnya akan melakukan pemberontakan dengan mengambil keputusan melempar sang Kapten ke dasar lautan akibat geregetan (gerigit ati) dengan ketidakbecusan Sang Kapten. 

Oleh karenanya seorang kapten kapal adalah Perwira pilihan. Memiliki wibawa yang lebih dibandingkan yang lainnya, bahkan ia berdehem saja kelasi satu barak bisa kocar-kacir. 

Seorang Kapten kapal harus disegani dan dihormati oleh anak buahnya. Ia tak perlu meninggikan suara, tapi begitu memberikan perintah, seisi kapal harus tunduk meski diluar badai sedang mengamuk.  

Seorang kapten juga harus mampu menunjukkan dihadapan bawahannya bahwa dia harus serba tahu sebelum yang lain tahu. Tak penting tahu sebenarnya atau hanya sekedar sok tahu. 

Karena disitulah letak marwah seorang nakhoda atau kapten dalam memimpin kapal dan seisinya menuju dermaga. 

Sehingga para penumpang dan awak kapal menjadi yakin bahwa mereka dipimpin oleh seorang kapten/nakhoda yang handal dan brilian, sosok yang mumpuni, tanggung, dan tak gentar sama sekali dalam menghadapi gelombang dan badai, hujan maupun topan menghantui perjalanan. 

Bukan seorang pengecut yang melempar persoalan kepada orang lain atau hilang wibawa dan ciut nyali baru melihat mega membara di langit.

Ingat, ketika Pearl Harbor diserang Jepang dan kekuatan Angkatan Laut nyaris lumpuh, Presiden Roosevelt berkata dengan lantang kepada pasukannya yang mulai kehilangan semangat: “Ketika aku melihat kekalahan di mata kalian dan bangsaku, aku sekarang menyadari mengapa Tuhan membuatku terpuruk di kursi roda adalah untuk mengingatkan bahwa kita sejatinya manusia tak boleh putus asa dan menyerah pada tekanan apa pun, tidak takut pada apapun… Jangan katakan padaku itu tidak bisa!“

Nah, dari kepemimpinan yang pernah ada di negeri ini dengan beberapa kejadian yang kita hadapi, sebetulnya bisa disimpulkan bahwa ternyata semua orang bisa menaiki kapal, tapi tak semua yang menaiki mampu menjadi nakhoda. 

Negeri ini sudah terlalu nyata dan lama dalam keanehan. Kita selalu salah memilih nakhoda. Sehingga yang terjadi, pasien sakit gigi tapi ditetesi obat sakit mata, perahu retak yang dipanggil untuk memperbaiki tukang rujak, perahu sudah mau tenggelam yang diminta menakhodai tukang kredit panci. 

Penumpang sudah menjerit karena kapal sudah mau tenggelam. So, kedepannya seorang pemimpin negeri ini harus mewarisi “keberanian” dan “kemandirian” nenek moyang kita orang pelaut! Bukan nenek yang lain…..!!

Salam rapopo!!(*)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: