Korupsi Bupati Ponorogo dan Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Hukum
Talitha Putri Alghifari --Foto: ist
Oleh: Talitha Putri Alghifari
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bangka Belitung
___________________________________________
Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko—bersama 12 orang lainnya— bukan sekadar kabar penangkapan biasa. Peristiwa ini adalah pukulan keras bagi harapan publik sekaligus pengingat bahwa integritas birokrasi di tingkat daerah masih jauh dari ideal. Dugaan praktik jual-beli jabatan dalam mutasi dan promosi pegawai memperlihatkan bahwa ruang kekuasaan lokal masih rentan dieksploitasi. Padahal, mutasi dan promosi sejatinya merupakan instrumen manajerial untuk meningkatkan profesionalisme birokrasi. Ketika mekanisme itu diperdagangkan, maka rusaklah fondasi pelayanan publik yang selama ini dibangun dengan susah payah.
Ketika Hukuman Tidak Menjadi Efek Jera
Indonesia telah memiliki perangkat hukum cukup memadai untuk menindak korupsi—mulai dari UU Tipikor 1999, UU 20/2001, hingga kewenangan KPK. Namun fakta di lapangan menunjukkan korupsi tetap marak, termasuk di daerah. Ini mengindikasikan bahwa ancaman hukuman tidak mampu menciptakan efek jera.
Rendahnya integritas pejabat menjadi faktor utama. Namun ada pula persoalan lain: hukuman yang tidak konsisten, putusan yang terasa ringan, serta pola penyelesaian hukum yang tidak selalu menyingkap aktor-aktor lain di balik praktik korupsi. Dalam kasus Ponorogo, penangkapan serentak 13 orang bukanlah gejala tunggal, melainkan petunjuk adanya jaringan terorganisir yang bekerja secara sistematis.
KPK secara tegas menegaskan bahwa mereka tidak hanya menargetkan pemimpin, tetapi juga para fasilitator dan pihak-pihak yang ikut menjual jabatan. Pesan ini penting, sebab korupsi jabatan selalu melibatkan banyak tangan—tidak mungkin berlangsung tanpa jaringan.
BACA JUGA:Selamat Jalan Sang Perintis, Jasamu akan Selalu Kami Kenang...
Birokrasi yang Luka dan Publik yang Terkhianati
Dampak korupsi jabatan jauh lebih luas daripada sekadar kerugian negara. Ia menciptakan luka struktural dalam birokrasi. Pegawai yang kompeten tersingkir, sementara mereka yang memiliki modal ekonomi atau kedekatan politik justru melaju. Lingkungan kerja menjadi tidak sehat, budaya meritokrasi runtuh, dan pelayanan publik menurun.
Pada titik ini, masyarakat adalah pihak yang paling dirugikan. Mereka tidak melihat lagi pemerintah daerah sebagai institusi yang melayani, melainkan arena permainan kepentingan. Kepercayaan publik —modal penting demokrasi lokal— tergerus perlahan.
Momentum Pembenahan
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:
