Korupsi Bupati Ponorogo dan Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Hukum

Korupsi Bupati Ponorogo dan Luka yang Lebih Dalam dari Sekadar Hukum

Talitha Putri Alghifari --Foto: ist

Kasus Ponorogo harus menjadi alarm keras bagi pemerintah pusat, terutama Kementerian Dalam Negeri dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), untuk meninjau ulang seluruh mekanisme mutasi dan promosi jabatan. Selama kewenangan ini terpusat di tangan kepala daerah tanpa pengawasan ketat, maka risiko penyimpangan akan selalu mengintai. Desentralisasi seharusnya memperkuat layanan publik, bukan memperbesar ruang rente. Karena itu, peran KPK dalam membuka jaringan pelaku harus diapresiasi sekaligus didukung melalui peningkatan transparansi serta koordinasi antar lembaga.

OTT Ponorogo bukan tragedi tunggal, tetapi gejala dari manajemen pemerintahan daerah yang belum sepenuhnya sehat. Peristiwa ini perlu ditarik sebagai pelajaran nasional: integritas bukan hanya soal individu, melainkan sistem yang harus terus dijaga.

Penutup

Korupsi Bupati Ponorogo menunjukkan bahwa luka paling dalam dari praktik korupsi bukanlah kerugian anggaran, melainkan kerusakan moral birokrasi dan hilangnya kepercayaan masyarakat. Ketika jabatan diperjualbelikan, ketika loyalitas menggantikan kompetensi, maka yang hancur adalah masa depan pelayanan publik itu sendiri.

Demokrasi lokal membutuhkan lebih dari sekadar kepala daerah terpilih. Ia membutuhkan pemimpin berintegritas, pengawasan yang independen, dan birokrasi yang dibangun berdasarkan meritokrasi. Kasus Ponorogo adalah pengingat bahwa perjuangan menuju ke sana masih panjang, tetapi tidak boleh berhenti.

BACA JUGA:Reformasi Birokrasi Melalui Digitalisasi oleh Biro Administrasi Pimpinan Pemprov Babel Semakin Terbuka

BACA JUGA:TKD ANJLOK DAN SKEMA TATA KELOLA PAD DI DAERAH

Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News

Sumber: