“Demokrasi memang menyenangkan, apalagi kalau bisa bantu promosi wajah-wajah penuh harapan... dan retouch Photoshop,” tambahnya, sambil menunjukkan desain baliho kandidat yang wajah aslinya nyaris gak dikenali tetangga sendiri.
Lebih menarik lagi, baliho kini bukan sekadar media kampanye, tapi juga jadi indikator awal peta kekuatan.
“Siapa paling banyak baliho, dia paling siap,” kata netizen.
“Siapa paling banyak senyum di spanduk, dia paling gak tahu harga beras,” kata yang lain.
BACA JUGA:Refleksi Moralitas Publik: Ujian Empati dan Prioritas- Royalti Untuk Rakyat atau Tambahan TPP ASN?
BACA JUGA:Royalti Timah untuk TPP ASN: Pengkhianatan Seperempat Abad Perjuangan Bangka Belitung
Secara teoritis, ini disebut sebagai "Visual Political Saturation": ketika publikasi kandidat melampaui batas konsumsi visual masyarakat.
Akibatnya? Warga desa lebih hafal tagline kampanye daripada harga minyak goreng.
Namun tetap, pertanyaannya menggantung: Apakah Pilkada ini akan memberi ruang pada gagasan dan adu program? Ataukah akan kembali jadi pesta gambar, spanduk, dan senyum manis di pinggir jalan?
Sementara partai belum tentu solid, rakyat masih menunggu yang benar-benar menyapa, bukan hanya numpang foto.
Dan untuk sekarang, yang sudah pasti menang adalah tukang cetak, tukang pasang, dan pemilik space iklan.
Karena sebelum suara rakyat berbicara di bilik suara, uang kampanye sudah berputar lebih dulu di toko cetak dan tiang listrik, halaman pinggir rumah, bahkan simpang simpang jalan dan tanah kosong.
Hahahahha minum kopi dulu ach... biar gak stress.
BACA JUGA:Ketika Keuntungan Diatas Segala: Membedah Bisnis Tambang Timah Ilegal di Bangka Belitung
BACA JUGA:TPP TUNJANGAN PENYELAMAT PEREKONOMIAN ASN