BACA JUGA:KECEMASAN KEKUASAAN ALA SIGMUND FREUD
Fenomena Politik
Reformasi yang sudah berjalan 26 tahun yang silam tentu sangat menyisakan berbagai persoalan kebangsaan yang ada. Berbagai pendapat publik menyeruak di permukaan menyoroti kegagalan era reformasi mendorong perubahan yang transendental di negeri ini. Betapa tidak, reformasi berhenti dipersimpangan jalan. Kegagalam reformasi adalah bukan hanya kegagalan struktural namun juga kegagalan kultural dimana agenda-agenda reformasi gagal di tengah jalan. Kelompok yang anti orde baru sekaligus yang menurunkan orde tersebut jauh terpinggirkan dari kekuasaan politik sehingga kebijakan yang lahir berkecendrungan tidak paham pesan-pesan reformasi. Bahkan para penentang orde baru pun hingga saat ini justru terjebak pada anomali politik. dengan diksi biarkan orde baru menjadi masa lalu dan kita menangkan masa depan, sekadar menghapus jejak sejarah karena ambigu kekuasaan.
Dan mencoba pendekatan yang dipakai oleh Anthony Giddens seorang ilmuwan sosial yang berkebangaan Inggris pencetus gagasan ”Jalan Ketiga (The Third Way) yang sangat terkenal itu, yang dalam satu bukunya yang berjudul “ Beyond Left and Right”. Yang mengungkapkan adanya ketidakpastian yang dihadapi ummat manusia sekarang ini. Ketidakpastian yang dimaksudkan adalah sebuah konsekuensi logis yang harus diterima oleh manusia akibat dari situasi sosio-politik yang tidak menentu.
Kondisi ini tentu sejalan dengan situasi politik yang terjadi di negeri ini setelah tumbangnya rezim otoriter Orde Baru yang berkuasa 32 tahun lamanya. Sehingga Anthony Giddens mengilustrasikan bahwa ketidakpastian yang terjadi dinegara Barat lebih pada ketidakpastian tehnologi. Sementara ketidakpastian yang terjadi di Indonesia lebih berdimensi politik dan ekonomi. Ini tentu sangat berbahaya bagi suatu bangsa dan negara.
Sehingga merespon kondisi sosio-politik tersebut memang sedang mengalami akut dengan indikator-indikator yang signifikan. Re-strukturalisasi politik adalah bagian yang sulit terpisahkan dari fragmentasi politik kekinian. Entah itu adalah aliran politik ataukah sebaliknya politik aliran. Tetapi yang pasti dinamisasi dalam kehidupan politik terus bergulir seperti roda pedati yang bergerak dalam pusarannya. Ini fakta empiris, dekonstruksi sosial yang merupakan bagian terpenting dalam peran strategi yang harus dimainkan oleh kelompok kelas menengah atau yang disebut sebagai civil society nyaris melebur dalam trend politik modern. Dalam pengertian posisi kelas menengah hampir termarginalkan sebab disatu sisi kelompok ini tidak mampu memainkan perannya sebagai agent social.
BACA JUGA:Menelaah Fenomena Doom Spending di Kalangan Milenial dan Gen-Z Indonesia dari Kacamata Marketing
BACA JUGA:DEMOKRASI DITENGAH POLITIK BRUTUS-ISME
Oleh sebab itu fenomena politik acapkali mengesampingkan kelompok satu ini dalam setiap pengambilan keputusan. Control social sesungguhnya lebih banyak dimainkan oleh kekuatan ekstra parlemen di dalam mengapresiasikan keinginan-keinginan politiknya atas nama demokrasi dan rakyat.
Sekalipun memang tidak semua kelompok kelas menengah ini larut dalam frame kekuasaan sehingga tidak nampak secara jelas mana kelas menengah dan mana yang bukan kelas menengah. Ini seringkali kita jumpai adanya perilaku “amplopisme“ dikalangan middle class ini. Pelacuran intelektual kelihatannya sulit terhindarkan akibat adanya tuntutan ekonomis sesaat. Dan bahkan tidak sedikit para penggiat sosial larut dalam ritme kekuasaan bahkan ironisnya mereka jadi pekerja-pekerja politik oknum dan kelompok tertentu.
Melihat fenomena kelas menengah di Indonesia tidak cukup hanya melihat Malaysia sebagai negara tetangga terdekat. Thailand sebagai negera Asia Tenggara juga mempunyai fenomena yang berbeda dengan Indonesia. Pengguingan Perdana Menteri Thailand Thaksin Shinawatra tahun 2007 yang lalu kemudian menyusul perdana menteri berikutnya yang kemudian jatuh pada tahun 2008. Sesungguhnya kejatuhan rezim tersebut pada dasarnya sangat dipelopori oleh kelompok kelas menengah yang melakukan aksi demonstrasi besar-besaran dengan menduduki Bandara Thailand.
Belum lagi beberapa negara-negara didaratan Amerika Latin yang juga sangat diwarnai oleh kekuatan civil society dalam penggulingan rezim yang berkuasa. Sehingga paling tidak posisi kelas menengah di Indonesia akan semakin mempunyai penguatan di dalam mengontrol jalannya pemerintahan yang ada. Bukan berarti bahwa kelas menengah juga bertugas menurunkan pemerintahan yang sah, tetapi lebih dari pada itu kelas menengah dapat memainkan peran-peran strategis yang dapat memberikan konstribusi bagi keberlanjutan demokrasi di negeri ini.
BACA JUGA:Aksi Kemanusiaan PMI Babel dalam Mitigasi Krisis Iklim, Nyawa Pasien DB Banyak Terselamatkan
BACA JUGA:Gen-Z Lebih Lemah Dari Generasi Sebelumnya, Benarkah?
Sekalipun memang harus disadari bahwa performance kelas menengah di Indonesia mengalami kemunduran akibat adanya kepentingan sesaat yang lahir dari ranah kelompok kelas menengah itu sendiri. Sehingga memang perlu penguatan kembali di dalam menemukan eksistensi middle class yang sesungguhnya. Sebab secara harfiah demokrasi harus mendapat penguatan dari civil society sebagai kekuatan yang berpengaruh dalam sebuah Negara. Sehingga peran kelompok kelas menengah sangat diharapkan dapat memberikan penguatan akan nilai-niai demokrasi yang ada.
Tetapi yang pasti adalah bahwa kekuatan Civil Sosciety harus mendapat tempat terhormat dalam perubahan iklim demokrasi di negeri ini, kalaupun jalanan harus menjadi mimbar terbuka itu adalah tempat terindah bagi demonstran untuk menyuarakan aspirasi rakyat di saat negara lemah tak berdaya.
Politik momentum dan parodi panggung demokrasi di jalanan selalu saja menuai persepsi yang miring. Gerakan mahasiswa sebagai gerakan moral (the moral forces) adalah gerakan yang melanjutkan tradisi sejarah masa lalu, bahwa demokrasi sangat tidak mugnkin dibangun hanya karena dengan konsep tanpa bangunan kekuatan pressure group di luar parlemen. Sebab ukuran demokrasi atau tidaknya sebuah negara bukan ditentukan oleh kualitas proses politik “yang penuh kecurangan” namun kualitas demokrasi sangat ditentukan oleh control politik yang bukan hanya dilakukan oleh parlemen (yang hari ini masih sibuk bikin kegaduhan), tetapi parlemen jalanan masih sangat efektif secara massif untuk membentuk opini public bahwa “negara” dalam keadaan tidak sedang baik-baik saja. Indeks demokrasi yang rendah sebagai bukti bahwa kesadaran masyarakat kita belumlah tumbuh secara sehat.