Oleh : Saifuddin
Direktur Eksekutif LKiS
Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari demokrasi, Elegi Demokrasi, catatan Cacat-an demokrasi, Politik mahar, mahar politik, Legal Tragedy dalam politik.
___________________________________________
Sebagai sesi awal dalam memahami kelas menengah di Indonesia, tentu haruslah dibangun dari suatu consensus dalam satu tatanan negara. Sebab, sejarah bangsa-bangsa di dunia telah mendefenisikan secara gamblang bahwa sebuah negara demokrasi tentu harus dibangun dari empat kekuatan yaitu, pertama, kekuatan parlementaria sebagai representatif dari perwakilan politik rakyat. Hingga saat ini belum dapat mewujudkan cita-cita rakyat yang diwakilinya.
Kedua, kekuatan NGO (Non Governmnet Organization) atau lebih dikenal dengan LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat). Ketiga, kekuatan media (pers) sebagai corong suci bagi transformasi komunikasi dari pemerintah ke masyarakat demikian pula sebaliknya. Keempat, kekuatan mahasiswa, sebagai moral force yang ampuh mendorong keberlangsungan perubahan demokrasi disuatu negara.
Dan di beberapa negara tentu mempunyai suatu performance dan kultur yang berbeda di dalam memainkan peran-peran kelas menengahnya (middle class). Katakanlah di Indonesia, kelompok-kelompok masyarakat sipil memainkan peranan yang pivotal dalam mengartikulasikan dan juga mengadvokasi suara-suara rakyat yang tidak mampu diakomodasi oleh penguasa atau partai-partai politik. Kegagalan partai politik di dalam mengartikulasikan kepentingan rakyat tentu adalah satu bukti bentuk penghianatan kepada rakyat, vox populi vox dei hanya menjadi simbol pembenaran atas kekuasaan.
Sehingga peran kelas menengah dalam suatu proses perubahan sangat ditentukan oleh kekuatan politik tertentu. Sehingga memang prosesi politik antara Indonesia dengan Malaysia tentu sangat berbeda. Hal ini dapat dibuktikan dengan melihat fenomena politik dari kedua Negara. Aksi buruh yang diperingati setiap tanggal 1 mei kemudian di susul aksi hari pendidikan nasional yang jatuh setiap tanggal 2 mei adalah satu fenomena bahwa kekuatan civil society masih ada dan sangat memungkinkan untuk melakukan perubahan di negeri ini. Hal ini ditandai kekuasaan Orde Baru misalnya mampu di jatuhkan karena kekuatan civil society pada tanggal 21 Mei 1998.
BACA JUGA:Pekan QRIS Nasional: Setitik Ikhtiar Penyumbang Dampak
BACA JUGA:Manusia dan Masa Depan Ekonomi Hijau Biru di Bangka Belitung
Oleh sebab itu maka menurut saya ada beberapa varian utama yang menyebabkan perbedaan antara mainstream politik Malaysia dengan Indonesia. Yakni, pertama, ketidakmampuan rezim Soeharto memecahkan krisis ekonomi pada tahun 1990-an, sehingga mendorong rakyat melirik sistem demokrasi sebagai suatu solusi terhadap krisis ekonomi. Sedangkan rezim Mahathir Muhammad mampu memecahkan krisis ekonomi dengan cepat sehingga Malaysia menjadi negara pertama di Asia Tenggara yang mampu keluar dari kekacauan ekonomi.
Kedua, diarena politik rezim soeharto tidak mengizinkan oposisi diparlemen dan selalu mempergunakan pendekatan represif untuk meredam kritisme yang membuat rakyat Indonesia berkeinginan kuat menggantikan rezim agar mereka bisa berpartisipasi lebih dalam arena politik, sementara itu, rezim Mahatir memberikan ruang bagi oposisi dan mempergunakan pendekatan civilian untuk mengatasi kritik terhadap pemerintah.
Ketiga, Indonesia memiliki kelompok-kelompok masyarakat sipil yang relative lebih kuat dibandingkan dengan Malaysia. Keempat, kelas menengah di Indonesia relative lebih independent daripada di Malaysia. Kelima, Indonesia mendapatkan tekanan internasional lebih kuat melalui lembaga-lembaga keuangan internasional dan organisasi non-pemerintah yang mendukung adanya perubahan pemerintah yang lebih demokratis terjadi di Indonesia dibandingkan dengan di Malaysia.
Akhirnya, perubahan juga disebabkan oleh suksesnya gerakan reformasi mengubah rezim di Indonesia ada tahun 1998,dan sementara itu gerakan reformasi di Malaysia relatif gagal.
BACA JUGA:Mengelola Perubahan Ekonomi di Bangka Belitung, Tantangan dan Peluang di Era Turbulensi