POLITISI LELUCON, KOMEDIAN POLITISI

Kamis 25-07-2024,09:03 WIB
Reporter : Saifuddin
Editor : Jal

BACA JUGA:PERUBAHAN NAMA DAN KEDUDUKAN DEWAN PERTIMBANGAN PRESIDEN MENJADI DEWAN PERTIMBANGAN AGUNG

Fenomena kegagalan ini sesungguhnya sudah bergerak dari waktu ke waktu termasuk ketika pelemahan disektor departemen publik atau negara dilemahkan karena “despotisme politik”.

Dalam hal ini yang terlibat penyelewengan kekuasaan cendrung dibela oleh sang penguasa. Terjadinya inkonsistensi dalam praktek kekuasaan nyaris “menyeruduk” ruang publik, yang sesungguhnya esensi politik nampak kehilangan identitasnya.

Fakta politik di era modern Indonesia, sepertinya kita pantas berdecat kagum pada permainan aktor politik yang mempertontonkan, papa minta saham, pelecehan nama baik presiden dengan mencatut nama pemimpin negara di kasus Freeport misalnya, masuk kasus e-KTP yang menter-sangkakan Ketua Umum Partai yang berlambang Beringin itu, sekaligus ketua DPR RI Setya Novanto yang beberapa tahun yang lalu, namun setelah praperadilan dimenangkan beliau, sontak publik begitu kaget sebab “papa sudah tersenyum” dan papa harus pulang.

Dua sosok wajah yang tersenyum sumringah dan simetris presiden Jokowi dan Setya Novanto nampak di media sosial begitu bahagia. Apakah ini petanda, bahwa pemimpin sementara saling membela, ataukah saling bersandiwara, atau memang mereka adalah para sang “lelucon” dipanggung politik. Entahlah.

Nah, kalau demikian adanya maka, selayaknya publik menghadiahinya dengan “tepuk tangan” sebab ia lepas dari jeratan hukum. Atau memang “kebenaran hukum” sudah terbeli diruang yang gelap. Semua ini tentu haruslah dimaknai sebagai episode “lawakan” di panggung politik.

Kelucuan itu tak seharusnya muncul di ruang publik mengingat prosesi politik dengan ikhlas masyarakat ini memberi suaranya kepada siapa yang pantas untuk dipilihnya. Bukankah masyarakat tak pernah bermain-main di “bilik suara” ? untuk memilih pemimpinnya.

BACA JUGA:Memerangi Judi Online dan Pinjol Ilegal: Pentingnya Literasi dan Inklusi Keuangan Bagi Generasi Muda

BACA JUGA: MENGAPA NEGARA GAGAL?

Lalu kenapa politisi (tidak semua) memilih jalan lawakan itu untuk dihadirkan dihadapan masyarakat. 

Tidak sedikit tentunya sang penguasa “lupa diri” setelah kekuasaan ada digenggaman tangannya. Milan Kundera (Cekoslowakia), ia katakan bahwa kekuasaan yang menindas sesungguhnya ia sedang melawan lupa.

Yah, lupa sejarah tentunya, perkembangan politik dan demokrasi di Indonesia bukan hanya mengikuti gerak zaman tetapi sejarah juga memberi andil dan ikut mensupport agenda-agenda perubahan di bangsa ini.

Hanya saja memang belakangan terakhir ini kita dijebak pada perilaku politik yang memaksa kita untuk meyakininya sebagai suatu proses politik yang berjalan dengan baik. Problem OTT, korupsi serta pembalakan disektor pemerintahan adalah realitas terburuk bangsa ini ketika ingin memasuki elan demokrasi yang bermartabat. KPK nyaris lumpuh di bawah kendali sang predator. Ironis bukan ?

Makna demokrasi yang bermartabat adalah pilihan terbaik untuk mewujudkan cita-cita bangsa, bukan menafikkan kehidupan kebangsaan lalu menyuguhkan praktek kekuasaan yang tidak bermoral. Politik adalah keberpihakan, namun keberpihakan yang dimaksud adalah pada nilai, etika dan kebenaran, bukan pada kekuasaan serta politik kebohongan.

Trusting, atau kepercayaan memang perlu dibangun di panggung-panggung politik, melalui debat gagasan serta transformasi ide untuk kemudian dikerjakan dikemudian hari, bukan gagasan oplosan serta gagasan “picisan” yang meninabobokan publik. Ini penting saya kira sebagai suatu “progress demokrasi” dalam tatanan politik yang terus berkembang. 

BACA JUGA:MANUSIA & KEHIDUPAN YANG KLISE

Kategori :