JOKOWI & POLITIK THE AGONY OF POWER JEAN BAUDRILLARD

Rabu 19-06-2024,08:16 WIB
Reporter : Saifuddin
Editor : Jal

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS (Lembaga Kaji Isu-Isu Strategis)

Penulis Buku : Politik Tanpa Identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi

___________________________________________

Sebagai penulis tentang simulakra yang cukup terkenal dan memberi pengaruh pada publik dunia. Namun dua tahun sebelum sang penulis meninggal dunia. Dalam bukunya yang berjudul The Agony Of Power, Jean Baudrillard mengambil celah terakhir pada situasi membingungkan yang saat ini kita hadapi, yaitu saat kita keluar dari sistem "dominasi" dan memasuki dunia generalisasi "hegemoni" di mana setiap orang menjadi sandera dan kaki tangan pasar global. Kaki tangan itu tentu bekerja sesuai orderan para kompardor dengan sengaja mengaca-acak, lalu ia dengan terang-terangan disemua media berpidato dan berbicara bahwa kita tetap tumbuh sebagai negara demokrasi, dan 13 tahun mendatang kita akan menjadi negara maju. 

Politics of public deception begitu kental dan massif untuk di dengarkan seakan menjadi kebenaran tertinggi dalam kekuasaan. Kata Adian Napitupulu dalam sebuah diksusi di mata Najwa, Jokowi, kalau dulu kebohongan yang dia ucapkan selalu kita anggap sebagai kebenaran, tetapi saat ini kebenaran pun yang dia sampaikan, kita tetap menganggap sebagai kebohongan. Ini adalah bentuk distrust publik terhadap kekuasaan. 

fakta-fakta empirik itu tidak mudah terhapus dari jejak percakapannya. Bahkan Jokowi pernah mengungkapkan kalau anak-anaknya tidak tertarik dengan politik, tetapi realitasnya ditarik ke jantung politik untuk merebut kekuasaan. Dan Gibran Rakabuming Raka di derek dengan keras oleh tangan-tangan Jokowi seperti MK untuk meloloskan anaknya. Begitu pula Kaesang Pangarep melalui MA juga pada akhirnya bisa lolos mencalonkan Gubernur. Semua itu menjadi sineas politik bagi Jokowi dan para kroninya. Termasuk partai-partai yang ada di ketiaknya- karena tersandera secara politik mau atau tidak mau ahrus membebek kepada keinginan dan nafsu kekuasaan Jokowi dan keluarganya. Perspektif Baudrillard ini adalah bentuk dominasi dari kekuasaan. 

BACA JUGA:Komitmen POLRI Tidak Anti Kritik Bertajuk

BACA JUGA:MAHAR POLITIK DI PILKADA ; ANCAMAN BAGI DEMOKRASI

Dominasi dalam perspektif Baudrillard bukan sebatas penguasaan diskursus semata, akan tetapi lebih dari itu, penguasaan terhadap celah-celah politik seringkali dimanfaatkan untuk kepentingan kekuasaan untuk melanjutkan dominasinya. Dan Jokowi sedang memerankan “Domination of power”. Termasuk membagi kekuasaan untuk keluarga dan kroninya adalah praktek Agony of power. 

Pada perspektif kedua tentang hegemoni, yakni kendali kekuasaan seperti dilakukan di satu tangan seorang pemimpin yang diktator. Tokoh hegemoni seperti Antonio Gramsci dari awal mengkritik gaya dan praktek kekuasaan yang hegemonian---karena berkecendrungan fasis dan otoritarian dan membiarkan ketimpangan sosial itu terjadi. Ketimpangan di sektor pembangunan adalah ciri khusus untuk melihat teori hegemonian Gramsci. Menarik benang merah perspektif tersebut kita bisa ambil dari pembangunan IKN (Ibukota Nusantara) yang ada di Kalimantan, hingga saat ini terjadi perang “gestur dan bahasa” antara Presiden dengan menteri (Majikan dengan pembantu). 

Di satu pidato presiden mengurutkan jumlah investor yang masuk di IKN bahkan disebutkan ocerloadscribe, namun dibantahnya sendiri dengan mengatakan kalau investor belum masuk di IKN. Bahkan Bahlil sebagai menteri investasi, dilain waktu juga pernah mengatakan kalau investor sudah masuk di IKN, ternyata ia juga membantah ucapannya di waktu yang lain kalau investor belum masuk di IKN. Keduanya bisa dibilang terjebak dalam simulakra Baudrillard.

Sekali lagi Gramsci dalam hegemoni-nya, bahwa pembangunan yang dipenuhi ambisi adalah bentuk fasisme dalam negara. akan ada ketimpangan yang akan ditinggalkan, karena hegemoni politik dari kekuasaan. Ketimpangan itu bisa terjadi karena adanya teror terhadap kelompok minoritas. Secara realitas, ketimpangan pembangunan selalu di mulai dari satu pertanyaan, siapa yang akan diuntungkan?, faktanya, tidak sedikit pembangunan yang dilakukan oleh negara selalu menempatkan kaum pemodal sebagai prioritas, dan warga negara selalu menjadi “buruh atau pekerja” atau lebih ekstrim nya menjadi korban dari pembangunan. 

IKN, satu diantara ketimpangan bahkan bisa menjadi kejahatan atas nama pembangunan yang akan membunuh secara massal bagi penduduk setempat (wraga negara), tanah, rumah, sawah, kebun bahkan hutan di ambil laih tasa nama negara dan pembangunan, lalu rakyat memilih pindah dan terusir dari tanahnya---praktek ini adalah bentuk teror dari perspektif Baudrillard. 

BACA JUGA:BE WISELY IN USING SOCIAL MEDIA: BIJAK DALAM BERSOSMED

Kategori :