DALAM setiap survey, hal yang selalu menjadi bahan ulasan adalah popularitas dan elektabilitas. Popularitas memang menjadi kunci pertama. Modal dasar untuk terjun ke dunia politik yang berkaitan dengan pemilihan langsung adalah, 'ngetop'. Jadi siapapun yang berminat, berusahalah untuk ngetop dulu.
Jika sudah ngetop, maka langkah berikutnya adalah target elektabilitas.
Apa itu?
Kalau ini diterjemahkan secara politis berarti tingkat 'keterpilihan' dari orang-orang yang sudah ngetop tadi.
* Apakah Anda kenal Syahril Sahidir? (Uji Popularitas)
- Kenal (Berarti Syahril Sahidir Populer/ngetop).
* Jika Syahril Sahidir mencalonkan diri menjadi Bupati, apakah anda akan memilihnya? (Uji elektabilitas).
- Tidak (Berarti Tingkat keterpilihan Syahril Sahidir rendah)
***
SEKALI lagi, dan ini masih terjadi hingga saat ini. Seseorang yang sudah merasa populer kerap kali lupa diri dan merasa sudah layak untuk mencalonkan diri. Seolah variabel popularitas itu saja sudah lebih dari cukup untuk mencapai ambisi jabatan politik.
Popularitas adalah kunci, tapi bukan penentu. Memenuhi variabel popularitas pada saat ini bukan lagi hal yang susah. Aktif bermedsos ria, rajin muncul di media massa, pasang spanduk atau baliho, buat jargon yang akrab di telinga massa, bentuk tim sukses, dalam tempo singkat popularitas akan langsung terangkat.
Tapi, apakah semudah itu membuka pintu elektabilitas?
Justru variabel elektabilitas ini akan sangat ditentukan berbagai faktor lainnya. Mulai dari faktor ekonomi, politik, sosial kemasyarakatan, etika, estetika, moral, agama, bahkan perilaku masa lalu juga terkadang menjadi penentu. Variabel elektabilitas ini memang terkadang menyakitkan. Hal-hal yang kadang diluar dugaan bisa muncul.
Soal elektabilitas ini, terkadang 'ngeri-ngeri sedap'. Lawan politik kadang tak segan-segan 'menyerang' tak hanya berbekal fakta, tapi kadang fitnah yang digoreng sedemikian rupa, seolah memang benar dan demikianlah adanya.
Di sini pula kadang politik 'menyerempet' hukum juga.
***