Oleh: Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan Bangka Belitung, Penerima Anugerah Kebudayaan
BERDASARKAN Algemeen Verslag Der Residentie Banka Over Het Jaar 1850, bundel Bangka Nomor 41, dinyatakan, bahwa perompak laut (zeerovers) menjarah kekayaan pulau Bangka.
Umumnya, masuk dan merampok wilayah kawasan pesisir Barat dan kawasan pesisir Timur pulau dengan membawa perahu-perahu bersenjata dari teluk Kelabat, kemudian menyilang melalui wilayah pedalaman Bangka menuju kawasan di selat Bangka dan laut Cina, memanfaatkan jalur sungai seperti sungai Layang, sungai Semubur, sungai Jering, dan sungai Merawang.
Hanya untuk sebagian kecil wilayah, perahu-perahu perampok harus tertahan terutama menghadapi kawasan yang berawa-rawa.
Setelah ditelisik, terdapat beberapa kali serangan perompak laut terhadap pulau Bangka yang berasal dari Kesultanan Johor dan Kesultanan Lingga. Para perompak laut umumnya merampok parit-parit penambangan Timah sebagai sumber kekayaan sultan Palembang Darussalam yang saat itu memonopoli pertimahan di pulau Bangka.
Perampokan Timah yang dilakukan, secara tidak langsung adalah upaya untuk memutus salah satu sumber kekayaan VOC, karena sultan Palembang telah terikat kontrak penjualan Timah kepada VOC dengan harga yang jauh berbeda dengan harga Timah di pasaran bebas.
Pada masa pulau Bangka di bawah pemerintahan Sultan Kesultanan Palembang Darussalam, Muhammad Bahauddin, sekitar Tahun 1792/1793 Masehi, pulau Bangka mengalami masa suram, karena merajalelanya perampokan terhadap pangkal-pangkal pusat penambangan Timah milik kesultanan yang dilakukan oleh perompak laut yang menamakan dirinya “Rayad” dari Siak dan juga mengganasnya para perampok yang menamakan dirinya dengan sebutan Lanun (Elvian, 2016:81).
Rayad atau rakyat adalah suku laut atau orang laut yang mendiami Siak. Dalam hubungan dengan kerajaan Riau dan Johor, suku laut ini dikenal pula dengan nama “Rakyat” bersama suku-suku lainnya. Untuk membedakan mereka dari rakyat lainnya mereka juga disebut Rakyat Laut.
Dalam kedudukan rakyat sultan, mereka tidak dikenakan pajak perorangan, tetapi diwajibkan memberi jasa sebagai pengayuh perahu kerajaan, menyediakan perahu jika diperlukan oleh penguasa dan sebagainya (Lapian, 2009:79).
Daerah-daerah seperti Kepo, Ulin, Nyireh dan Bangkakota tidak luput dari perampokan dan penjarahan. Dengan pengecualian Toboali, dimana kubu atau benteng pertahanan kemudian telah buru-buru dibangun dekat semua wilayah sungai di sepanjang pantai Barat dan Selatan, terutama yang dari Banko-Kutto (Bangkakota), Selan dan Kappu (Kepo), kubu atau benteng diberikan tempat tinggal dan keamanan untuk menghadapi Lanons (Horsfield, 1848:317).
Bajak laut yang menamakan diri Lanun membangun Pangkalan atau markas di sisi Utara sungai Kepo yang diberi nama Binting atau Benteng Mulut, sebelum menyerang dan merampas kawasan di pesisir Barat pulau Bangka dan kawasan di pesisir Timur pulau Bangka, bahkan mereka menjarah ke wilayah Paku di pedalaman pulau Bangka.
Serangan berikutnya terhadap pulau Bangka berasal dari Kerajaan Lingga dengan tujuan menaklukkan Palembang, mengusir VOC dan menguasai sumber-sumber kekayaan Timah di pulau Bangka.
Dalam pandangan eropasentris dan nerlandosentris, serangan yang berasal dari kerajaan Lingga dipimpin oleh Panglima angkatan perang Lingga, bernama Raman atau Rahman yang juga sering dalam literatur Eropa disebut dengan kepala perompak laut.
Panglima Raman atau Rahman dalam beberapa catatan sejarah dikatakan sebagai seorang yang berasal dari Lingga, ayahnya seorang saudagar Bugis yang menikah dengan puteri salah satu pemuka orang Laut yang paling terhormat. Dia dibawa ke istana oleh Raja Muda dan kemudian dinobatkan menjadi kepala orang Laut dari Lingga dan terkenal sebagai bajak laut.
Diceritakan kembali dari Tuhfat al-Nafis: “Panglima Raman merampok dari Bangka ke Jawa, membawa banyak tahanan dan membawa mereka ke Lingga. Pada saatnya orang-orang Bangka datang untuk menikmati hidup di Lingga dan mereka mendirikan kebun-kebun dan kampung-kampung dan tidak mau kembali lagi. Kadang-kadang kerabat mereka berasal dari Bangka tidak melalui perampokan tetapi secara sukarela dan menyerahkan diri kepada sultan Mahmud, dengan demikian kemudian Lingga menjadi padat penduduknya”.