KETIKA janji Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) masih dalam bentuk 'angin syurga', larangan menambang sudah berjalan dimana-mana. Ketika rencana stop ekport tahun depan sudah membahana, solusi hilirisasi baru sebatas wacana.
Oleh: Syahril Sahidir - CEO Babel Pos Grup
PERTANYAANNYA, apa solusi tercepat dan tersingkat bagi rakyat daerah ini? Khususnya rakyat penambang di Pulau Bangka dan Pulau Belitung?
Apakah program hilirisasi itu dapat berjalan cepat misalnya hanya dalam 1 atau 2 bulan, sehingga rakyat bisa diharuskan menunggu? Bukankah hilirisasi butuh waktu lama, pembangunan yang cukup lama? Apa kompensasi bagi rakyat penambang?
Jika semua itu mau dijawab jujur, maka jawabannya adalah nol besar.
Sekali lagi, bagi rakyat, menambang bukan mencari kaya, tapi mencari makan?
Mari kita jujur. Rakyat daerah ini masih tetap bisa bertahan ketika daerah lain terpuruk, jika pertambangan diizinkan --terlepas dari persoalan legalitas--.
Pertambangan timah masih begitu kuat menyangga ekonomi rakyat kedua pulau ini, diakui atau tidak. Masih banyak rakyat menempatkan pertambangan timah itu
sebagai mata pencaharian utama. Namun tak sedikit pula yang menempatkan menambang timah ini sebagai 'gawean' sampingan untuk menambah-nambah kebutuhan keluarga.
Meski di sisi lain ada juga yang sudah menempatkan sebagai mata pencaharian 'pelarian'. Dalam arti, ketika komoditas lain misalnya lada, sawit, atau karet tengah tak menguntungkan, maka pelariannya adalah menambang timah. Tentu dengan skala dan kemampuan yang dimiliki.
Posisi tambang timah rakyat yang demikian, berat untuk bisa diputar menjadi sebaliknya. Misalnya, ketika timah terpuruk dan dilarang, lalu rakyat serta merta
lari ke komoditas karet, sawit, atau lada. Karena 3 komoditas terakhir ini butuh proses panjang. Tidak bisa serta merta. Sementara tambang timah, pergi pagi, ada hasil, sore sudah bisa mengantongi duit.
Kondisi perekonomian yang demikian ini agaknya banyak yang belum dipahami oleh para pejabat dan pengamat pusat.
Penulis sendiri pernah mengamati salah satu analisis staf ahli di sebuah kementerian soal pertimahan Babel yang disampaikan dalam sebuah pertemuan resmi.
Tulisan itu justru menempatkan rakyat seolah 'bukan siapa-siapa'. Stop eksport demi hilirisasi, adakah dipertimbangkan bagaimana akibatnya bagi rakyat Babel? Bukan hanya rakyat penambang. Karena bagaimanapun, sebuah kebijakan yang berdampak secara ekonomis, akan menimbulkan efek domino.