Pilkada dan Hikmah Kurban: Antara Idealisme Rakyat dan Mahar yang Menggiurkan

Pilkada dan Hikmah Kurban: Antara Idealisme Rakyat dan Mahar yang Menggiurkan

Ujang Supriyanto --Foto: ist

Oleh: Ujang Supriyanto 

Ketua Simpul Babel

Tokoh Muda Presidium Perjuangan Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung 

___________________________________________

Seiring waktu menuju pendaftaran resmi Pilkada ulang, konfigurasi calon kepala daerah mulai mengerucut. Nama-nama yang semula beredar liar kini mulai menyatu dalam skema koalisi dan manuver-manuver politik. 

Namun di balik layar, partai-partai justru semakin dihantui dilema klasik: memilih calon karena idealisme rakyat, atau karena mahar yang menarik?

Fenomena ini nyaris terjadi setiap menjelang kontestasi politik: ketika semangat pengabdian diuji oleh daya tarik logistik. Di meja perundingan, idealisme dan kepentingan sering bersilang jalan. Di tengah euforia demokrasi, pertanyaan lama kembali muncul: siapa yang benar-benar ingin melayani, dan siapa yang hanya ingin menang?

Menariknya, suasana Pilkada kali ini beririsan dengan momen Idul Adha. Sebuah waktu yang sarat makna tentang ketulusan, keikhlasan, dan pengorbanan. Dalam kisah Nabi Ibrahim dan Ismail, kita diajarkan bahwa pengabdian sejati lahir dari hati yang rela mengorbankan ego dan kepentingan pribadi demi perintah Tuhan dan kebaikan umat.

Sama halnya dengan politik. Seharusnya, pencalonan dalam Pilkada bukanlah ajang tawar-menawar kekuasaan, melainkan bentuk kurban sosial, pengorbanan waktu, tenaga, bahkan kenyamanan pribadi untuk memperjuangkan aspirasi rakyat. Bukan sebaliknya, menjadikan rakyat sekadar alat untuk mencapai ambisi.

BACA JUGA:Pentingnya Kata Sandi Kuat: Tameng Utama di Era Keuangan Digital

BACA JUGA:Efek Domino Rakusnya Kapitalis Terhadap Kemakmuran Warga Kepulauan Bangka

Sayangnya, di banyak tempat, nilai-nilai itu justru dikalahkan oleh pragmatisme. Ketulusan diganti oleh proposal. Keikhlasan diganti oleh kalkulasi. Para calon dinilai bukan dari kapasitas dan rekam jejaknya, tapi dari seberapa besar mahar yang bisa ia sodorkan. Padahal bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, yang kurang adalah orang yang siap berkurban untuk rakyatnya.

Idul Adha tahun ini memberi pengingat yang indah: bahwa dalam setiap perjuangan besar, harus ada kurban yang tulus. Maka semestinya, partai-partai politik pun ikut belajar dari makna kurban itu. Bahwa menjemput kemenangan dengan keikhlasan lebih mulia, daripada mengejar kekuasaan lewat jalan transaksional.

Pilkada bukan sekadar soal siapa yang menang. Tapi tentang siapa yang paling siap berkorban untuk kepentingan rakyat, bukan kepentingan partai semata.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: