TPP ASN: Kebutuhan Ekonomi Tambahan atau Gaya Hidup ASN?

Ujang Supriyanto --Foto: ist
Oleh: Ujang Supriyanto
Tokoh Muda Presidium Pembentukan Provinsi Kep. Bangka Belitung
___________________________________________
Tunjangan Perbaikan Penghasilan (TPP) bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) kerap dianggap sebagai angin segar dalam meningkatkan kesejahteraan birokrasi. Namun, dibalik itu, muncul pertanyaan reflektif: Apakah TPP benar-benar berfungsi sebagai penguat ekonomi ASN, atau telah bergeser menjadi pelumas gaya hidup konsumtif yang tidak proporsional?
Perspektif Positif: TPP sebagai Ekonomi Tambahan yang Layak
1. Kompensasi Kinerja dan Beban Kerja
TPP merupakan bentuk penghargaan negara atas beban kerja yang kian kompleks di tengah birokrasi modern. ASN dituntut untuk melayani dengan cepat, transparan, dan profesional. TPP hadir sebagai insentif untuk menjaga semangat kerja.
2. Stabilisator Finansial Keluarga ASN
Bagi ASN golongan rendah hingga menengah, TPP menjadi topangan penting untuk memenuhi kebutuhan keluarga, biaya pendidikan anak, kesehatan, bahkan tabungan masa depan.
3. Daya Tarik bagi Talenta Muda
Dalam jangka panjang, keberadaan TPP mampu menjadi insentif bagi anak-anak muda potensial untuk masuk ke dunia birokrasi yang selama ini dianggap tidak menjanjikan dari sisi ekonomi.
BACA JUGA:Royalti Timah: Siapa Sebenarnya yang Kegirangan?
BACA JUGA:Refleksi Moralitas Publik: Ujian Empati dan Prioritas- Royalti Untuk Rakyat atau Tambahan TPP ASN?
Perspektif Negatif: Ketika TPP Berubah Menjadi Gaya Hidup
1. Perubahan Pola Konsumsi dan Hedonisme
Tak dapat dipungkiri, sebagian ASN menjadikan TPP sebagai “tambahan jatah nongkrong, kredit mobil, atau cicilan gaya hidup.” TPP yang semestinya menjadi dukungan produktivitas, justru membiakkan perilaku konsumtif.
2. Ketergantungan pada TPP
Dalam beberapa kasus, ASN menjadi "ketagihan" dengan TPP. Tanpa TPP, semangat kerja menurun, loyalitas menipis, dan pengabdian menjadi transaksional. Ini jelas membahayakan semangat dasar ASN sebagai pelayan publik.
3. Inefisiensi Fiskal dan Ketimpangan
Di daerah dengan fiskal lemah, TPP malah menjadi beban APBD yang tidak seimbang. Ketika rakyat susah, ekonomi lesu, dan pelayanan publik masih jauh dari harapan, pencairan TPP tanpa evaluasi kinerja bisa menjadi bom waktu yang merusak citra ASN sendiri.
Penutup
Maka, menjadi penting untuk menempatkan TPP bukan sebagai hak mutlak, melainkan sebagai reward yang berbasis kinerja nyata, disiplin, dan kontribusi terhadap pelayanan publik. TPP semestinya menjadi sarana memperbaiki kualitas birokrasi, bukan sekadar pemicu gaya hidup boros yang tidak berpihak pada rakyat.
Dalam refleksi 25 tahun Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, mari kita bertanya: Apakah ASN hari ini sudah cukup layak mendapat TPP? Ataukah saatnya evaluasi menyeluruh demi keadilan anggaran dan keseimbangan sosial?
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Sumber: