Antara Ekspektasi dan Realitas: Ketika Laporan Orang Tua Menggerus Otoritas Pendidik

Antara Ekspektasi dan Realitas: Ketika Laporan Orang Tua Menggerus Otoritas Pendidik

Handika Yuda Saputra --Foto: ist

Oleh: Handika Yuda Saputra, S.Pd., M.Pd

Sekretaris Umum DPD IMM BABEL

___________________________________________

BABELPOS.ID - Diskriminasi terhadap guru yang sering kali dilaporkan oleh orang tua siswa adalah fenomena yang memunculkan keprihatinan dan ironi dalam sistem pendidikan. Sebagai figur kunci dalam proses pembelajaran, guru tidak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk mencerdaskan siswa, tetapi juga sering kali berhadapan dengan tekanan dari berbagai pihak, termasuk orang tua yang memiliki ekspektasi beragam. Ketika peran mereka sebagai pendidik dibatasi oleh laporan-laporan yang kerap kali bernada negatif dari orang tua, posisi guru terancam tereduksi menjadi sekadar pihak yang harus menuruti keinginan dan persepsi orang tua.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah laporan yang dilakukan oleh orang tua selalu objektif, atau justru sarat dengan bias dan prasangka yang akhirnya memperlemah otoritas dan profesionalisme guru dalam dunia pendidikan?

Dalam konteks ini, kita dapat melihat bahwa laporan-laporan yang dilakukan oleh orang tua siswa sering kali didasari oleh persepsi yang tidak lengkap atau pemahaman yang sepihak tentang kinerja guru di sekolah. Sebagai orang yang tidak terlibat langsung dalam proses belajar mengajar di kelas, orang tua hanya mendapatkan gambaran sebagian kecil dari interaksi antara guru dan siswa. Akibatnya, laporan yang mereka buat bisa saja sangat subjektif dan cenderung didorong oleh perspektif atau kepentingan pribadi, bukan demi kepentingan pendidikan yang lebih luas. Misalnya, jika seorang siswa mendapat nilai yang kurang memuaskan, sebagian orang tua mungkin langsung menyalahkan guru, tanpa mempertimbangkan faktor lain seperti motivasi belajar anak, disiplin belajar di rumah, atau keterbatasan sumber daya sekolah. Dalam hal ini, laporan orang tua cenderung mencerminkan rasa tidak puas pribadi ketimbang penilaian yang obyektif terhadap kualitas pengajaran.

BACA JUGA:KRITIK & PEMBAKARAN BUKU NAJWA SHIHAB

BACA JUGA:REFLEKSI SUMPAH PEMUDA UNTUK PEMUDA BANGKA BELITUNG

Fenomena diskriminasi melalui laporan orang tua ini sebenarnya mencerminkan dinamika kekuasaan dalam dunia pendidikan. Di satu sisi, orang tua memiliki pengaruh besar terhadap institusi sekolah, terutama dalam lingkungan pendidikan swasta atau sekolah dengan sistem yang sangat bergantung pada masukan dari pihak luar. Orang tua memiliki ekspektasi bahwa sekolah akan menyediakan kualitas pendidikan yang optimal bagi anak-anak mereka, dan dalam prosesnya, mereka merasa berhak untuk menuntut dan mengkritisi guru. Namun, ketika tuntutan tersebut berlebihan dan tidak didasarkan pada evaluasi yang obyektif, mereka secara tidak langsung mendiskriminasi guru dengan membatasi ruang gerak dan kreativitas mereka dalam mengajar. Pada titik ini, laporan orang tua dapat menjadi instrumen kekuasaan yang merugikan posisi guru dan melemahkan otoritas mereka di dalam kelas.

Ketika laporan-laporan ini berujung pada tindakan manajemen sekolah yang cenderung memihak kepada orang tua, tanpa menyelidiki atau memverifikasi kebenaran informasi, maka guru berada dalam posisi rentan. Mereka mungkin merasa bahwa setiap tindakan atau kebijakan pengajaran mereka harus selalu berhati-hati agar tidak memicu laporan dari orang tua. Kondisi ini dapat mengakibatkan "self-censorship" atau pengekangan diri, di mana guru menjadi terlalu takut untuk mengambil keputusan atau menerapkan strategi pengajaran tertentu. Akibatnya, kreativitas dan otonomi guru dalam proses belajar mengajar mengalami pengikisan yang cukup signifikan. Guru, yang sejatinya adalah agen utama dalam pendidikan, menjadi kehilangan kendali terhadap proses pembelajaran karena kekhawatiran akan kritik atau laporan yang dapat membahayakan posisi mereka.

Aspek lain yang tidak kalah penting adalah implikasi psikologis dari diskriminasi ini terhadap guru. Ketika seorang guru secara berulang kali mendapat laporan dari orang tua, meskipun belum tentu laporan tersebut benar atau adil, hal ini dapat menimbulkan dampak yang signifikan terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan psikologis mereka. Ketidakadilan yang dirasakan dapat memicu perasaan stres, frustrasi, dan bahkan rendah diri, yang pada gilirannya akan memengaruhi performa kerja mereka. Guru yang merasa tidak didukung dan dihargai akan mengalami penurunan motivasi untuk mengajar dan berinovasi, sehingga berpotensi mengorbankan kualitas pendidikan yang mereka berikan kepada siswa. Dalam jangka panjang, dampak ini dapat berpengaruh pada kualitas pendidikan secara keseluruhan, karena tenaga pendidik yang tertekan tidak akan mampu memberikan yang terbaik dalam tugas dan tanggung jawabnya.

BACA JUGA:Mahasiswa ; Demokrasi Yang Belum Mati

BACA JUGA:Pekan QRIS Nasional: Setitik Ikhtiar Penyumbang Dampak

Selain itu, fenomena diskriminasi melalui laporan orang tua juga menciptakan paradoks dalam pendidikan karakter siswa. Di satu sisi, pendidikan bertujuan untuk membentuk individu yang menghargai perbedaan, menghormati otoritas, dan mampu menerima kritik yang konstruktif. Namun, ketika orang tua terbiasa melaporkan atau mengkritik guru hanya berdasarkan persepsi pribadi, mereka secara tidak langsung memberi contoh kepada anak-anak mereka bahwa otoritas guru bisa saja diabaikan atau bahkan dianggap tidak relevan. Anak-anak mungkin menangkap sinyal bahwa jika mereka tidak setuju dengan tindakan atau keputusan guru, mereka bisa mengadu kepada orang tua untuk mendapatkan dukungan. Hal ini bisa menciptakan budaya kurang menghargai di kalangan siswa terhadap otoritas guru, yang pada akhirnya berdampak pada penurunan disiplin dan respek di dalam kelas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: