Sarjana Bukan Segalanya
Ilustrasi wisuda--Foto: Ant
Oleh Raihan Muhammad
Direktur Eksekutif Amnesty UNNES, Pegiat Politik dan Hukum
__________________________________________
BABELPOS.ID - Tanggal 29 September diperingati sebagai Hari Sarjana Nasional. Momentum ini lahir sebagai penghargaan terhadap perjuangan intelektual dan kerja keras menempuh pendidikan tinggi. Gelar sarjana sering dipandang sebagai simbol capaian akademik sekaligus harapan untuk lahirnya generasi berpengetahuan.
Namun, gelar akademik tidak otomatis sejalan dengan integritas, kepemimpinan, maupun profesionalisme. Sejarah panjang bangsa ini memperlihatkan banyak pemegang ijazah tinggi justru tersandung penyalahgunaan kewenangan, sementara mereka yang tidak berpendidikan tinggi mampu memberi teladan etos kerja dan moralitas publik.
Refleksi atas Hari Sarjana Nasional seharusnya menegaskan bahwa pendidikan tinggi adalah penting, tetapi bukan satu-satunya ukuran kualitas manusia dan pejabat publik. Ijazah hanyalah pintu masuk, bukan jaminan lahirnya dedikasi maupun kompetensi substantif.
Dalam beberapa waktu terakhir, ruang publik diramaikan oleh serangkaian gugatan di Mahkamah Konstitusi. Syarat pendidikan minimal bagi calon polisi, legislator, hingga presiden dan wakil presiden dipersoalkan, dengan dorongan agar batas bawahnya dinaikkan menjadi sarjana strata satu. Argumen yang diajukan umumnya menekankan kompleksitas tugas negara pada era modern yang dinilai tidak lagi memadai ditangani oleh lulusan sekolah menengah.
Gelombang uji materi ini menunjukkan bagaimana gelar akademik diposisikan sebagai solusi instan untuk memperbaiki wajah kelembagaan negara. Namun, pengalaman membuktikan bahwa persoalan mendasar justru terletak pada lemahnya akuntabilitas, minimnya transparansi, serta kultur organisasi yang masih menoleransi penyalahgunaan kekuasaan.
Kendati demikian, pengalaman membuktikan bahwa persoalan mendasar justru terletak pada lemahnya akuntabilitas, minimnya transparansi, serta kultur organisasi yang masih menoleransi penyalahgunaan kekuasaan.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada September 2025, misalnya, menolak gugatan yang meminta syarat minimal sarjana bagi calon anggota Polri. Majelis hakim menilai persoalan profesionalisme tidak dapat diselesaikan hanya dengan menaikkan kualifikasi akademik, karena banyak kasus penyalahgunaan kewenangan justru dilakukan oleh perwira tinggi yang berijazah sarjana.
Begitu pula dalam tubuh Polri, catatan Komnas HAM selama satu dekade terakhir memperlihatkan pola pelanggaran hak asasi manusia dan penyalahgunaan prosedur yang berulang, kendati sebagian besar pelakunya merupakan lulusan akademi kepolisian atau perguruan tinggi. Fenomena serupa terjadi di parlemen.
DPR periode 2019–2024, yang sebagian besar anggotanya berlatar belakang sarjana, justru melahirkan produk legislasi yang berkali-kali dibatalkan oleh MK karena cacat formil maupun materiil. Kenyataan ini menunjukkan bahwa gelar pendidikan bukan faktor penentu tunggal. Tanpa mekanisme pengawasan yang efektif dan budaya organisasi yang sehat, ijazah hanyalah atribut formal yang tidak mencegah terjadinya penyimpangan.
BACA JUGA:16.000 Sekolah di Indonesia Direvitalisasi
BACA JUGA:Prabowo Pacu Penyelesaian Bailey Demi Buka Akses Desa Terisolir
Cek Berita dan Artikel lainnya di Google News
Sumber:

