KECEMASAN KEKUASAAN ALA SIGMUND FREUD

KECEMASAN KEKUASAAN ALA SIGMUND FREUD

Saifuddin --Foto: ist

Oleh : Saifuddin

Direktur Eksekutif LKiS

Kritikus Politik dan Penggiat Pro-Demokrasi

Penulis Buku ; Politik tanpa identitas, Obituari Demokrasi, Elegi Demokrasi, Catatan Cacat-an Demokrasi, Legal Tragedy dalam Politik, Mahar Politik dan Politik Mahar.

___________________________________________

Sejarah demokrasi sesungguhnya bukan sejarah yang pendek untuk melihat sejauhmana demokrasi itu dijadikan sebagai pilihan sistem politik dalam bernegara. Sejarah begitu banyak mencatat kalau di bebrapa ratus tahun yang lalu jauh sebelum demokrasi dijadikan sebagai sistem alternatif dalam tata kelolah bernegara, akan begitu banyak sistem yang ada sebelumnya seperti otoriatraianisme, fasisme, liberalisme, plutokratisme sampai kepada okhlokratisme ala Platonik. Semua itu adalah cerminan dari serpihan sejarah yang memberi tanda kalau demokrasi hadir sebagai antitesa dari sistem-sistem yang sebelumnya. 

Demokrasi oleh Francis Fukuyama sebagai perkara ummat manusia sejagat, sepertinya akan menjadi alternatif terbaik atas kehancuran sosiaisme di timur dan dibeberapa negara di Eropa. Namun terlepas dari itu demokrasi sebagaimana the last man dalam tulisan Fukuyama menegaskan akan bangkitnya demokrasi kapitalisme sebagai alternatif terbaik dari sistem-sistem yang pernah ada sebelumnya. 

Ini paradoks, memilih demokrasi sebagai sebuah pilihan tetapi prakteknya justru mengakibatkan proses politik akan berbiaya mahal. Kapitalisme demokrasi tentu memiliki semangat “market politik dengan berbasis modal” ini justru menjadi hal yang mustahil diwujudkan ditengah bangsa dan negara yang tingkat dan pola kesadaran politiknya masih sangat rendah, belum lagi tingkat kemiskinan di dalam satu negara, semua akn menjadi absurd bila “kapitalisasi politik” yang berkedok demokrasi.

Begitu banyak pameo kalau demokrasi itu mahal---mahal karena pola tarnsaksional dan pragmatisme dari pelaku politik (politisi) yang berkecendrungan membeli partai hanya untuk menjadikan kendaraan dalam event politik. Sehingga hal ini juga menjadi penyebab partai politik kehilangan kepercayaan (trust) dari publik. Senada dengan hal tersebut kita bisa amati kalau anggota DPR RI periode 2024-2029 mayoritas adalah pebisnis atau pengusaha. Dari hasil survey yang ada mereka rata-rata harus mengeluarkan dana 80 Milyar untuk bisa meraih satu kursi ke Senayan. 

BACA JUGA:Menelaah Fenomena Doom Spending di Kalangan Milenial dan Gen-Z Indonesia dari Kacamata Marketing

BACA JUGA:DEMOKRASI DITENGAH POLITIK BRUTUS-ISME

Secara matematis ini akan memprihatinkan, yang ada malah bagaimana cara mereka mengembalikan modal politik yang demikian besar. Artinya setahun atau sampai 3 tahun mereka belum tentu bekerja untuk rakyat karena sibuk mengumpulkan pundi-pundi dalam rangka mengembalikan modal politik yang telah dikeluarkannya. Inilah wajah demokrasi yang berbiaya mahal itu---Kapitalisme demokrasi. 

Tukar guling dalam politik

Menyoal tentang politik yang berbiaya mahal tadi, sesungguhnya ini sangat memprihatinkan sejalan dengan tumbuhnya demokrasi di akar rumput, artinya demokrasi mulai bertumbuh dengan kesadaran politik, tetapi semua itu menjadi musnah karena politik kapitalisasi atau sering disebut sebagai obligator vote (menjual suara). 

Fenomena obligator vote ini terus terjadi dari pemilu ke pemilu, bahkan di tingkat pilkada punnyaris situasi seperti ini tidak terjadi. Sehingga akan memunculkan kecemasan atas matinya demokrasi dengan harga yang menggila. Demokrasi yang sesungguhnya memiliki peran sebagai jembatan dalam rangka mengupayakan kecerdasan dan kesadaran politik kolektif justru dibredel oleh para pemilik modal dengan dalih atas nama demokrasi. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: