Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara

Membangun

Membangun "cultural resilience" pendidikan ala Ki Hadjar Dewantara OIKN adakan pelatihan kepada kepala sekolah dan tenaga pendidik di Kecamatan Sepaku, Kabupaten Penajam Paser Utara untuk mengembangkan konsep pendidikan model baru di Kota Nusantara. --Foto: ant

Oleh Risi Grisna Yurika, S.Pd, M.Pd.

Penulis adalah Kandidat Guru Penggerak di Rumpin, Bogor, Jawa Barat.

 _________________________________________

BABELPOS.ID, JAKARTA - Pendidikan di era 4.0 yang ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informatika dan internet mendatangkan tantangan yang semakin kompleks. Melalui gawai di genggaman tangan informasi dan budaya baru dari berbagai penjuru dunia membanjiri hingga ke ruang privat.

Oleh karena itu, menjadi urgensi bagi pendidik untuk bisa memberikan alat analisis bagi peserta didik agar kebudayaan bangsa Indonesia tidak tergerus.

Kebudayaan manusia di setiap penjuru dunia di setiap bangsa muncul, berkembang, lalu menjadi budaya yang mapan.

Kebudayaan antarbangsa saling berjumpa dan berdesakan sehingga kemudian terdapat kebudayaan yang bertahan bagi yang memiliki ketahanan kebudayaan yang tinggi, punah bagi yang ketahanan budaya lemah, atau muncul budaya baru bagi ketahanan kebudayaan yang tinggi dan terbuka.

Ketahanan kebudayaan yang sering disebut dalam istilah modern cultural resilience menjadi isu yang penting yang menjelaskan perjumpaan dan pertarungan kebudayaan.

Pada konteks paling sederhana, banyak bahasa lokal yang menjadi bagian dari budaya di berbagai penjuru dunia punah karena tidak memiliki lagi penuturnya sehingga kalah dan hilang dari peradaban.

Di era 4.0 Indonesia harus mengembangkan watak cultural resilience yang dimilikinya agar kebudayaan Indonesia tidak punah.

BACA JUGA:Menteri ATR: Badan Khusus Air Penting Dalam Integrasikan Manajemen Air

BACA JUGA:Strategi Mencapai Nol Persen Kemiskinan Ekstrem

Ki Hajar Dewantara, Bapak Pendidikan Indonesia, pada tahun 1956 sebetulnya telah mengungkapkan kekhawatiran serupa dan menawarkan alat untuk mengatasinya. Ketika itu memang belum ada istilah cultural resilience tetapi spirit yang ditawarkan Ki Hajar Dewantara telah mampu menangkap persoalan tersebut.

Alat itu berupa empat ukuran berupa Sifat, Bentuk, Isi, dan Irama (SBII) yang digunakan untuk mempertimbangkan, memilih, dan memilah nilai sebuah kebudayaan secara lengkap dan benar.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: