Petaka Terbesar Bangka Belitung

Petaka Terbesar Bangka Belitung

Safari Ans--

Oleh: Safari Ans

Wartawan Senior dan Salah Satu Tokoh Pejuang 

Pembentukan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

”DESAS-desus kabar burung itu ternyata benar adanya. Ketika penulis menjadi Staf Khusus Gubernur Provinsi Kepulauan Bangka Belitung (Babel) tahun 2019-2021, terdengar nyaring perselingkuhan dunia timah itu. Tapi masih kabar burung. Kabar itu menyebutkan, ada mafia timah bergerak tajam dan tak mengenal kompromi. Direktur Utama PT. Timah Tbk kala itu mungkin tidak bisa mengatakan “tidak” kepada kelompok mafia ini, sehingga “terpaksa” tata niaga timah tak sesuai lagi dengan aturan yang ada. Akhirnya Negara (baca; Babel, Red) rugi Rp 271 triliun. Itu lantaran aparat hukum pun takut bertindak. Tapi gebrakan Kejaksaan Agung kali ini, harus kita acungkan jempol. Luar biasa, menyelamatkan Babel dari kehancuran yang lebih parah lagi.”

--------------

KETIKA penulis sedang ngopi di Pangkalpinang Bangka beberapa tahun lalu, ada seorang teman bercerita sambil bercanda. Tapi isi cerita itu sangat serius. Ia mengatakan, sebulan sekali rutin teman dia membawa uang tunai ke Jakarta menggunakan helikopter. Tentu jumlahnya milyaran rupiah. Penulis sempat melakukan konfirmasi ke kantor --salah satu perusahaan pembesar--, sekedar untuk memastikan apakah perusahaan yang disebut-sebut Kejaksaan Agung sekarang adalah milik bos itu?

Karena perusahaan yang dimaksud sudah dijual. Kendati begitu, tetap kalangan pertimahan Babel tak bergeming. Predikat itu tetap melekat dalam diri mereka.

Tahun 2020, seorang utusan grup usaha timah di Babel pernah mendatangi penulis ke Jakarta untuk membongkar mafia timah ini. Menurutnya, bosnya tidak mau menjual timah ke kelompok mafia ini, tetapi mereka dipaksa. Tetapi bosnya tetap tidak mau, sehingga usaha grupnya menjadi stagnan. Timahnya menumpuk di gudang, tak bisa dijual kecuali melalui jaringan sindikat “mafia timah”. Dia ingin penulis menulis tentang mafia timah di Babel yang melibatkan Harvey Moeis dan kawan-kawan. Semula saya mengira usaha orang yang datang itu sebagai dampak dari persaingan bisnis dunia pertimahan di Babel, sehingga penulis tak mau terseret dalam pusaran bisnis timah di Babel. Ternyata obrolan itu benar.

Gebrakan Kejaksaan Agung ini luar biasa, ketika instrumen dan aparat hukum yang ada di Babel tak berdaya menghadapi kuatnya cengkraman “mafia timah” dari bisnis timah baik di hulu maupun di hilir. Saking kuatnya, pemain besar timah di Babel yang sudah lama eksis di Babel pun tak berkutik dibuatnya. Akhirnya mereka masuk dalam jaringan ini. Apalagi Direktur Utama PT. Timah Tbk kala itu sudah berada dalam cengkraman mereka. Sejak skema “mafia timah” dijalankan, maka seakan wilayah IUP (Izin Usaha Pertambangan) PT. Timah Tbk adalah milik kelompok ini. Lalu Direksi Timah hanya sekedar mengesahkan (legalitas) saja. Pokoknya semua kegiatan timah di Babel dilakoni oleh sindikat ini. Baik aparat di pusat maupun di daerah tak berdaya menghadapi sindikat ini. Amat kuat dan menakutkan banyak orang.

Kerugian Rp 271 triliun yang disampaikan oleh Kejaksaan Agung sangat besar, sehingga kasus timah ini menjadi petaka terbesar Babel dalam sejarah dunia pertimahan. Padahal kontribusi royalti timah saja setiap tahunnya tak sampai Rp 500 miliar yang masuk ke APBD. Bobol Rp 271 triliun sangat besar dan mengejutkan. Belum ada peristiwa sebesar ini sebelumnya. petaka ini telah berjalan hampir satu dekade di Babel. Tidak masuk akal memang. Seakan semua orang di Babel tidak dapat membaca petaka ini dari awal. Sindikat ini begitu terorganisir, terstruktur, dan masif. Tidak ada satu orang pun yang berani menyentuh sindikat ini. Kok bisa di alam kemerdekaan ini masih berlaku kerjasama ala penjajahan Belanda dulu ketika mereka menambang timah di bumi Babel?

Sistem yang dibangun oleh sindikat “mafia timah” kali ini, sebenarnya lebih sadis dari sistem penjajahan Belanda dulu. Sindikat ini mematikan semua instrumen pertambangan, perdagangan, dan instrumen hukum yang telah dirajut dari Jakarta ke Babel. Semua instrumen yang ada, dibuat tak berdaya dan kuasa menghadapinya. Sehingga semua pihak harus menerima kenyataan dan harus menelan pil pahit. Boleh jadi para pelaku yang terimbas oleh jaringan sindikat ini merupakan “keterpaksaan” menerima dan manut oleh penerapan sebuah sistem dijalankan sindikat. Sekarang kita bisa mengerti mengapa satu grup tadi meminta saya menulis untuk membongkar jaringan sindikat mafia timah. 

Yang menjadi pertanyaan saya mengapa DPRD Babel tidak berperan sebagai kontrol terhadap pelaksanaan pembangunan di Babel? Bukankah sistem mafia yang dijalankan hampir satu dekade itu? Apakah memang anggota DPRD Babel banyak juga yang bermain dalam dunia pertimahan. Lalu mengapa anggota DPR RI utusan Babel yang justru duduk di komisi yang membawahi dunia pertambangan juga diam membisu? Ataukah memang Bos “Mafia Timah” terlalu kuat, sehingga para anggota dewan yang terhormat tak mampu melakukan protes. 

Dan, heran juga juga penulis, hingga kini, tidak gerakan penyesalan di Babel atas terjadinya lakon sindikat “mafia timah” yang menghebohkan secara nasional dan internasional. 

Jangan-jangan masyarakat di Babel juga takut untuk berbicara soal ini. Boleh jadi di Babel saat ini sudah tercipta ketakutan massal untuk membicarakan sindikat “mafia timah” yang telah dirilis oleh Kejaksaan Agung, sehingga lembaga hukum ini negara wajib melakukan motivasi agar masyarakat Babel berani membuka aib ini. Rp 271 triliun ini adalah aib bagi Babel, sekaligus memalukan. Seakan orang Babel mudah dibodohi dan dibohongi dengan CSR yang diberikan oleh “mafia timah”.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: