Nucok Lulong

Nucok Lulong

Ahmadi Sofyan - Penulis Buku /Pemerhati Sosial Budaya--

Oleh: Ahmadi Sofyan - Penulis Buku / Pemerhati Sosial Budaya

PARA abdi negara (ASN/PNS) yang berkarakter, memiliki kualitas diri, maka ia tak risau siapa yang memimpin, apa posisi yang diamanahkan kepadanya, dan tak perlu menghambakan diri dengan cara “nucok lulong” sang atasan demi mempertahankan posisi atau mendapatkan jabatan lebih tinggi.

Memang judul diatas nampak kasar, tapi begitulah orang Bangka bertutur, apa adanya dan tidak perlu memperhalus bahasa sekedar untuk dianggap santun. Pun demikian ketika saya menulis “Budu Bagak”, ada yang protes karena dianggap kasar. Karena yang protes adalah alumni Pesantren, lalu saya tanya apa arti Jahil Murokkab yang sering diucapkan di kalangan pesantren? Kagetlah dan barulaah ia sadari bahwa “Jahil Murokkab” artinya ya “budu bagak” jika dimaknai dalam bahasa Bangka.

“Nusuk Pantat”, begitulah makna harfiah dari kalimat “Nucok Lulong” seperti judul di atas. Kalimat tersebut adalah salah satu istilah yang kerapkali diungkapkan dalam bahasa tutur lisan masyarakat Bangka yang bermakna ganda. Jika ditafsirkan lebih luas, “Nucok Lulong” bermakna “menjilat”, yakni perilaku cari muka yang dilakukan oleh bawahan kepada sang atasan atau seseorang kepada penguasa ataupun pengusaha. Intinya perilaku ini dilakukan orang kecil kepad orang besar, orang berjiwa kerdil kepada pembesar, orang jelata kepada penguasa, bawahan kepada atasan. Intinya, yang memiliki perilku ini adalah orang yang berada dibawah, baik secara mental maupun posisi.

Perilaku menjilat ada dalam setiap tempat dan hampir dalam setiap peristiwa. Perilaku semacam ini berkembang karena kondisi dan lingkungan kerja yang tidak sehat, misalnya kultur sang pemimpin berperilaku seperti Bos atau penguasa. Yang bertindak the one and only yang dianggap sebagai yang menentukan hitam-putihnya nasib para bawahan. Bisa juga sang Bos sendiri yang memang senang dan bangga memerankan dirinya seperti itu. Termasuk sang isteri maupun keluarganya.  Dalam kultur seperti ini, manajeman dan aturan manajerial untuk menilai kinerja bawahan tidak ada. Jika pun ada, seringkali standar baku mutu kinerja bisa dikalahkan oleh perasaan si Bos. Parahnya lagi si Bos biasanya garang di kantor tapi kalah alias keok dengan sang isteri jika di rumah. 

Jadi jangan gampang salut ketika melihat seorang Bos atau pimpinan Anda kelihatan garang dan emosional di kantor, karena jangan-jangan di rumah dia sering tak berkutik menghadapi isterinya sendiri. Ibarat pepatah orang Bangka, “Di luar rumah bagaikan macan, tapi mun di rumah dbuat bini e macem kek belacan”. Selanjutnya, di kantor maupun diluar kantor, para bawahan kerapkali “nucok lulong” atau menjilat si Bos agar memuluskan kenaikan pangkat dan mendapat job atau proyek yang diinginkan. 

Oleh karenanya seorang pemimpin itu boleh garang, boleh emosional, boleh tunjuk sana tunjuk sini, sesuaikan dengan kondisi bukan sekedar membuat sensasi dan sekedar emosi tanpa ilmu dan wawasan yang memadai, apalagi ikut-ikutan garang seperti garangnya atau bertipe koboi seperti gaya Jokowi dan Ahok. Padahal setiap tempat dan lingkungan kerja itu berbeda karakter dan tentunya berbeda gaya kepemimpinan. Begitupula seorang pemimpin itu memiliki karakter sendiri bukan fotocopy apalagi sekedar ikut-ikutan trend.

Kadangkala seringkali saya menyaksikan seorang pemimpin kerapkali bertindak dibatas kewajaran, padahal ilmu dan wawasan masih dibawah standar untuk melakukan itu. Akhirnya justru menjadi bahan tertawaan dan cerita bagi para bawahannya ketika sang Bos sedang tidak ada. Kalau seorang pemimpin begitu gampang emosi dan ingin semua bawahan menghormatinya, maka disinilah akan lahir perilaku “nucok lulong” atau penjilat oleh para bawahan. 

Pernah ada seorang pejabat dengan penuh emosional berkata di depan para anak buahnya:“Ikak tau dak ko ne sape?!!!”. Padahal ucapan seperti ini menunjukkan rendahnya kualitas seorang pemimpin, terutama dalam pendekatan dengan bawahan serta ilmu komunikasi dengan lawan bicara, terutama orang yang baru mengenalnya. Kalau saja ada seorang pimpinan yang mengajukan pertanyaan seperti itu dan kebetulan saya bawahan, pasti saya jawab: “Bapak sendirik dak tau kek diri bapak, macem mane kami nek tau?!” insya Allah saya dipecat, minimal di usir dari pertemuan. Tapi kalau saya berperilaku penjilat, pastinya saya nunduk-nunduk bahkan minta maaf bahkan minta ampun, padahal tidak bersalah. 

Nah, perilaku seperti inilah akhirnya bermunculan para bawahan yang terpaksa loyal karena takut bukan karena segan terhadap pimpinan, bukan karena sang pimpinan berkualitas, tapi karena pimpinan yang garang. Didepan mereka kelihatan loyal dan nunduk-nunduk seperti abdi dalem, tapi dibelakang mereka keluarkan sumpah serapah atau bahkan menjadi bahan olokan.

Perilaku pimpinan seperti ini sesungguhnya membuka peluang terjadinya kompetisi yang tidak sehat dalam dunia kerja, terutama birokrasi. Karena perilaku bawahan “nucok lulong” atau jilat atas, injak bawah, sikut kiri kanan akan tumbuh subur dalam dunia birokrasi kita saat ini. Bukan lagi prestasi kerja serta dampaknya bagi lembaga dan orang-orang yang ada didalamnya, melainkan kemampuan “berbisik” dan “membisikkan” sesuatu ke telinga si Bos. 

Lingkungan kerja yang dipenuhi dengan budaya nucok lulong atau jilat menjilat seperti ini akan menjadikan lingkungan tersebut tidak sehat dan tidak kondusif. Bahkan lebih parahnya lagi, perilaku ini akan menumbuhkan mental kurang peka terhadap kebutuhan orang lain. Hal ini dikarena para bawahan lebih sibuk mencari perhatian sang Bos dan mencari kesalahan kawannya yang dianggap rival atau saingan.  

Sedangkan bagi para bawahan yang “lurus” atau berkinerja baik dan memiliki kualitas dalam menghadapi kondisi seperti ini umumnya tidak kreatif dan kinerjanya menjadi stagnan karena merasa apa yang dilakukannya menjadi tak berguna. Jika mentalnya lemah, maka ia khawatir tersingkirkan sehingga sedikit demi sedikit masuk ke dalam lingkaran para penjilat dan menjadi pribadi-pribadi munafik demi menyenangkan hati sang Bos agar tak kehilangan posisi.

Oleh karenanya, ketika jadi bawahan ia memposisikan diri menjadi penjilat karena tak memiliki karakter diri. Sedangkan seorang abdi negara yang berkarakter, memiliki kualitas diri, maka ia tak risau siapa yang memimpin, apa posisi yang diamanahkan kepadanya, dan tak perlu menghambakan diri dengan cara “nucok lulong” sang atasan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: