Digital Storytelling: Antara Peluang dan Tantangan

Digital Storytelling: Antara Peluang dan Tantangan

--

 

Oleh Aegustinawati

 

*Penulis adalah Awardee BPI Kemendikbudristek Angkatan 2022

dan tercatat sebagai mahasiswa Program Magister FPBS Universitas Pendidikan Indonesia

 

 Dunia pendidikan memang tidak dapat dilepaskan dari perkembangan teknologi. Kecanggihan teknologi dari waktu ke waktu telah menghadirkan berbagai kemudahan bagi guru dan siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran. Bernard R. Robin dalam artikelnya yang diterbitkan tahun 2016 berjudul ‘The Power of Digital Storytelling to Support Teaching and Learning’ misalnya, mengungkapkan tentang teknik bercerita sebagai sebuah strategi pembelajaran berubah menjadi sebuah media yang sangat menarik ketika dijelmakan ke dalam bentuk digital.

 

Digital storytelling yang dapat diterjemahkan sebagai frasa cerita digital atau dongeng digital, dipandang dapat mengaktifkan tombol-tombol kreativitas pada diri siswa. Robin mengklaim bahwa mendongeng digital sangat bersesuaian dengan berbagai karakteristik siswa masa kini dalam belajar baik di level pendidikan dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi. Berbagai karakteristik itu di antaranya adalah melek teknologi, bergantung pada mesin pencarian internet, tertarik dengan multimedia, terbuka secara emosional, menyukai komunikasi secara visual, membuat konten internet, dan memiliki perhatian yang pendek. Oleh sebab itu, ia meyakini bahwa cerita digital adalah alat yang ampuh untuk digunakan sebagai sebuah media pembelajaran tanpa membatasi pada pelajaran tertentu.

 

Keyakinan Robin terhadap keampuhan cerita digital dalam pembelajaran bukan tanpa alasan. Generasi yang duduk di bangku sekolah hari ini adalah mereka yang disebut-sebut sebagai generasi Z dan Alpha. Berbagai sumber menyebutkan bahwa rentang usia generasi Z adalah dari 9—25 tahun pada 2022 atau yang lahir pada tahun 1997—2012. Sementara itu, generasi alpha adalah mereka yang lahir pada rentang 2011 hingga sekarang. Sudah kita ketahui bersama bahwa generasi Z adalah generasi pertama yang lahir sebagai generasi digital. Sebagian orang menyebut mereka dengan istilah ‘terlahir digital’. Mereka adalah generasi digital native yang sejak kelahirannya telah berinteraksi dengan dunia digital.

 

Sebuah data menyebutkan bahwa populasi generasi Z saat ini mencapai 32% penduduk dunia dan sebanyak 60% dari mereka adalah pengguna aktif di media sosial (bbc.com, 2020). Itu berarti, dunia digital adalah ‘kawan akrab’ generasi Z. Kenyataan ini merupakan peluang besar bagi cerita digital untuk menjadi media yang mumpuni dalam menyampaikan pesan-pesan pembelajaran.

 

Pengalaman penulis sendiri ketika meminta siswa mengumpulkan produk akhir pembelajaran berupa rekaman video, cukup di luar dugaan. Siswa SMA pada umumnya sangat antusias saat diminta melaporkan tugasnya dalam bentuk audio visual. Bahkan mereka menggunakan beragam aplikasi editor yang kini tersedia cukup banyak di gawai berbasis teknologi android ataupun i-phone. Sejumlah penelitian juga menunjukkan bahwa cerita digital efektif dalam mencapai tujuan pembelajaran. Ini menjadi bukti otentik bahwa cerita digital memiliki peluang besar untuk menjadi pilihan media pembelajaran bagi guru guna menyukseskan tercapainya tujuan pembelajaran.

 

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa pemanfaatan cerita digital sebagai sebuah media pembelajaran tidak memiliki tantangan. Upaya khusus dan kesungguhan yang harus dicurahkan untuk menciptakan sebuah cerita digital yang menarik akan menjadi tantangan tersendiri baik bagi guru maupun siswa. Keterbatasan waktu yang dimiliki guru sangat mungkin akan menjadi penghambat lahirnya cerita-cerita digital yang kreatif dan penuh makna.

 

Beban administrasi yang masih menghantui para guru akan menjadi alibi tersendiri. Pada sisi siswa, aspek kemandirian, kemauan, dan keberanian diduga kuat akan menjadi penghalang utama. Pada siswa yang sudah memiliki kemapanan dalam belajar, hal ini tentu tidak akan menjadi persoalan. Namun, bagi siswa yang masih membutuhkan banyak bantuan eksternal, menciptakan sebuah cerita digital mungkin akan dianggap sebagai sebuah beban berat.

 

Pada siswa yang sudah mapanpun sebenarnya masih akan terdapat risiko. Tidak jarang aktifnya remaja bahkan anak-anak dalam dunia digital lebih untuk mencari hiburan dan kesenangan semata. Bermain gim secara daring, pamer diri dan kekayaan di media sosial adalah aktivitas normal generasi Z. Alih-alih membuat cerita digital, bisa saja justru mereka teralihkan dengan hal-hal yang disebutkan terakhir saat mulai bersentuhan dengan gawai ataupun laptop.

 

Di sisi lain, kita juga tidak boleh melupakan dampak negatif dari kecanggihan teknologi digital. Cukup banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa durasi lama di depan layar komputer, laptop, dan gawai sangat mempengaruhi kesehatan mata dan perkembangan otak. Rich, seorang profesor ilmu sosial dan perilaku di T. H. Chan School of Public Health di Harvard menerangkan bahwa banyak hal yang terjadi di layar memberikan stimulasi yang kurang baik bagi otak yang sedang berkembang (Ruder, 2019). Ia juga menjelaskan bahwa cahaya biru yang dipancarkan dari perangkat layar akan mengganggu pola tidur. Padahal, tidur yang nyenyak merupakan kunci bagi perkembangan otak.

 

Kesadaran akan perlunya pembatasan screen time sudah mulai tumbuh di tengah-tengah masyarakat. Bahkan di Amerika, generasi Z ramai-ramai meninggalkan smartphone dan kembali menggunakan feature phone. Jenis gawai yang terakhir adalah gawai dengan tipe fitur lebih sederhana. Penggunaannya pun terbatas untuk kebutuhan telepon dan teks, bukan untuk keperluan browsing, bermain gim, atau bermedia sosial. Alasan ditinggalkannya smartphone oleh generasi Z Amerika tidak hanya soal kesehatan mata, tetapi lebih karena kesehatan mental (teknokompas.com, 2023).

 

Pertanyaan besarnya adalah apakah kita harus menyerah menghadapi berbagai tantangan ini? Tentu saja jawabannya adalah tidak. Peluang cerita digital bagi kesuksesan pembelajaran di kelas harus diiringi dengan kemampuan memanfaatkan kekuatan yang ada agar ia benar-benar dapat menjadi media yang ampuh dalam mencapai tujuan pembelajaran seperti dicita-citakan.

 

Kesadaran akan pentingnya kemandirian, kemauan keras, dan keberanian mencoba hal baru harus ditanamkan pada anak-anak sejak usia dini. Beban administrasi guru di masa depan sudah seharusnya semakin berkurang sehingga guru dapat fokus pada tugas utamanya sebagai pendidik dan pembimbing. Pola tidak sehat dalam penggunaan teknologi digital menjadi tanggung jawab bersama untuk diselesaikan. Peran orang tua, guru, dan lingkungan sangat besar untuk mengarahkan anak agar memanfaatkan gawai, laptop, dan komputer secara bijak. Pemanfaatan media digital secara proporsional merupakan solusi yang paling bijak.

 

Pernyataan yang diakhiri dengan pertanyaan retoris oleh Rich berikut ini kiranya tepat diambil sebagai sebuah kesimpulan dalam tulisan ini. “We have to be flexible enough to evolve with the technology but choose how to use it right. Fire was a great discovery to cook our food, but we had to learn it could hurt and kill as well. We don't want to be in a moral panic because kids are staring at smartphones. We need to be asking, what’s happening when they’re staring at their smartphone in terms of their cognitive, social, and emotional development? As with most things, it will probably be a mix of positive and negative. Going forward with our eyes open, how can we enhance the positive and mitigate the negative?”(**)

 

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: