Pentingnya Literasi di Era Digital

Pentingnya Literasi di Era Digital

--

Oleh James Okto Irwan

Unit Implementasi Kebijakan dan Pengawasan SP-PUR

 

Kantor Perwakilan Bank Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung

 

 

DIGITALISASI tidak serta merta hanya menawarkan kemudahan bagi masyarakat dalam memenuhi kebutuhannya. Namun, seiring dengan kemudahan tersebut muncul risiko baru yang harus diwaspadai oleh masyarakat yaitu risiko siber.

Berdasakan data yang dirilis oleh Kepolisian Republik Indonesia (Sumber : https://pusiknas.polri.go.id) diketahui bahwa Kepolisian menindak sebanyak 8.831 kasus kejahatan siber di tahun 2022 atau meningkat dibandingkan tahun 2021 dengan jumlah penindakan sebanyak 612 kasus.

Jika dilihat berdasarkan jenisnya, diketahui bahwa manipulasi data autentik dan penipuan melalui media elektronik menjadi kasus terbanyak yang ditangani. Kondisi ini mencerminkan bahwa pelaku tindak kejahatan siber selalu menemukan celah untuk melancarkan aksinya yang dapat merugikan masyarakat.

Disisi lain, literasi masyarakat masih terbatas dan menjadi pekerjaan rumah yang harus segera dibenahi. Berdasarkan hasil Survei Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2022 yang dirilis oleh OJK, diketahui bahwa indeks literasi keuangan masyarakat secara nasional tercatat sebesar 49,68% dan untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 62,34% atau lebih tinggi dibandingkan nasional.

Hal ini dapat diartikan bahwa dalam 100 orang penduduk hanya sekitar 49-50 orang (nasional) atau 62 orang (Bangka Belitung) yang memiliki pengetahuan, keterampilan dan keyakinan dalam mengelola keuangan. Masyarakat dengan tingkat literasi yang baik memiliki peluang yang lebih besar terhindar dari tindakan pelaku kejahatan.

Sejalan dengan hal tersebut, literasi keuangan belum dapat mengimbangi inklusi keuangan sehingga terdapat gap yaitu sebesar 35,42% secara nasional dan 17,14% untuk Provinsi Kepulauan Bangka Belitung. Adapun indeks inklusi keuangan secara nasional sebesar 85,10% dan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sebesar 79,48% yang menggambarkan seberapa besar masyarakat memiliki akses dalam memanfaatkan produk dan/atau layanan jasa keuangan di lembaga keuangan formal untuk mewujudkan kesejahteraan.

Selanjutnya, gap antara inklusi dan literasi keuangan menggambarkan bahwa dari 100 orang penduduk terdapat 35-36 orang (nasional) atau 17 orang (Bangka Belitung) yang memiliki akses terhadap produk dan/atau jasa keuangan di lembaga formal, namun belum memiliki pengetahuan, keterampilan dan keyakinan dalam mengelola keuangan.

Kondisi ini juga dapat menggambarkan bahwa kelompok tersebut dapat menjadi sasaran empuk bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk melakukan manipulasi dengan tujuan mendapatkan data dan/atau informasi yang dapat merugikan masyarakat.

Lalu, apa pentingnya literasi di era digital?

Masyarakat sebagai konsumen harus memiliki literasi yang baik di era digital agar masyarakat memahami akan hak dan kewajibannya. Gampangnya, ketika masyarakat mengalami kendala terhadap produk dan layanan yang disediakan oleh Penyelenggara, masyarakat memiliki pemahaman dan keberanian untuk menyampaikan permasalahan tersebut sehingga dapat diselesaikan oleh Penyelenggara. Hal ini menjadi sangat penting agar masyarakat sebagai konsumen tidak merasa dirugikan, disisi lain juga merupakan perwujudan dari perlindungan konsumen.

Namun demikian berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan RI, diketahui bahwa Indeks Keberdayaan Konsumen (IKK) tahun 2022 tercatat sebesar 53,23. Kondisi ini menggambarkan konsumen di Indonesia baru berada dikategori mampu dalam menggunakan hak dan kewajibannnya untuk menentukan pilihan terbaik termasuk menggunakan produk dalam negeri bagi dirinya dan lingkungannya serta mampu menyuarakan haknya apabila tidak terpenuhi dengan baik.

Sementara, yang diharapkan yaitu konsumen di Indonesia berada dikategori kritis atau berdaya sehingga masih menjadi pekerjaan rumah untuk meningkatkan keberdayaan konsumen melalui pelaksaaan kegiatan edukasi dan sosialisasi.

Akan tetapi, pentingnya literasi tidak hanya terbatas pada konsumen berani menyuarakan haknya. Namun, lebih luas lagi yaitu konsumen mampu melindungi diri dari potensi risiko tindak kejahatan di era digital. Sebagaimana yang diketahui bahwa pelaku tindak kejahatan selalu menemukan cara untuk mencuri data dan informasi yang dapat merugikan konsumen. Social engineering atau rekayasa sosial termasuk salah satu risiko baru di era digital yang dinilai cukup banyak merugikan masyarakat. Rekayasa sosial merupakan teknik manipulasi yang memanfaatkan kesalahan manusia untuk mendapatkan informasi pribadi.

Dengan tingkat literasi yang baik, maka konsumen tidak akan mudah tergiur dengan iming-iming return investasi yang fantastis dengan waktu yang singkat, tidak akan memberikan PIN, password atau kode One Time Password (OTP) kepada pihak yang tidak dikenal atau yang mengaku sebagai operator Penyelenggara, tidak mudah digiring untuk mengakses link atau file tertentu, selalu berhati-hati dalam bertransaksi digital dan tidak mempublikasikan data pribadi melalui sosial media.

Modus baru, penyalahgunaan QRIS di era digital

Perkembangan digital telah mendorong Bank Indonesia untuk berinovasi sebagai perwujudan dari transformasi digital. QR-Code Indonesia Standard (QRIS) merupakan implementasi dari transformasi digital agar masyarakat dapat bertransaksi secara Cepat, Mudah, Murah, Aman dan Handal (CeMuMuAH) hanya dengan melakukan pemindaian (scan) QRIS melalui aplikasi mobile banking atau dompet elektronik. QRIS bukanlah aplikasi, melainkan standarisasi pembayaran digital melalui qr-code.

Sejak diluncurkan pada tahun 2019, Bank Indonesia bersama Asosiasi Sistem Pembayaran Indonesia (ASPI) terus melakukan pengembangan terhadap fitur QRIS dan membangun kerja sama dengan berbagai negara untuk mewujudkan konektivitas sistem pembayaran antar negara. Hal tersebut telah terwujud antara Indonesia dan Thailand yang mana turis Indonesia yang datang ke Thailand dapat bertransaksi secara digital dengan melakukan scan QR-Code milik Thailand.

Begitu juga sebaliknya, turis Thailand yang datang ke Indonesia dapat bertransaksi secara digital dengan melakukan scan QRIS. Penyelesaian transaksi tersebut tentunya menggunakan mata uang masing-masing negara atau yang lebih dikenal dengan istilah Local Currency Settlement (LCS). Upaya ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan terhadap penggunaan mata uang negara lain dan perwujudan kebanggaan terhadap rupiah.

Namun demikian, inovasi tersebut juga direspon oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab. Bahka baru-baru ini terdengar kabar yang sangat disayangkan yaitu terdapat oknum yang menyalahgunakan pemanfaatan QRIS. Modus yang digunakan yaitu mengganti QRIS rumah ibadah dengan QRIS milik pribadi dengan penamaan merchant QRIS yang dibuat semirip mungkin agar masyarakat tidak curiga sehingga oknum tersebut mendapatkan donasi dari masyarakat yang seharusnya ditujukan untuk rumah ibadah.

Meskipun demikian, QRIS tetaplah kanal pembayaran digital yang aman, telah dilengkapi dengan fitur keamanan dan mengadopsi standar global EMVCo yang diadopsi oleh berbagai negara. Selanjutnya, aplikasi pembayaran (mobile banking dan dompet elektronik) yang digunakan untuk bertransaksi QRIS juga telah dilengkapi dengan fitur keamanan sesuai best practices termasuk two factor authentication.

Untuk menjaga keyakinan konsumen dan memberikan pesan bahwa Bank Indonesia akan selalu memastikan keamanan dan kelancaran sistem pembayaran, Bank Indonesia telah berkoordinasi dengan Penyelenggara agar QRIS yang digunakan oknum tersebut tidak dapat menerima pembayaran sehingga tidak semakin merugikan masyarakat dan pengelola rumah ibadah. Selain itu, Bank Indonesia juga meminta penyelenggara agar mencermati dan meningkatkan awareness untuk mencegah modus serupa serta melakukan sosialisasi di media massa terkait langkah-langkah yang perlu dilakukan oleh pengguna, merchant dan Penyelenggara.

Kejadian ini tentunya menjadi pembelajaran kita bersama bahwa literasi di era digital menjadi hal mendasar yang harus dimiliki oleh seluruh masyarakat. Disisi merchant yang menggunakan QRIS harus memastikan keamanan QRIS yang ditampilkan agar tidak dapat diganti atau dimodifikasi oleh pihak yang tidak berwenang dan secara berkala memastikan QRIS yang dipajang memang QRIS yang dimiliki oleh merchant.

Sementara itu, bagi konsumen saat bertransaksi melalui QRIS harus memastikan nama merchant telah sesuai dan tidak melakukan transaksi apabila menemukan kejanggalan atau terdapat informasi yang tidak sesuai dengan profil merchant. Literasi yang baik terhadap penggunaan kanal digital sangat dibutuhkan agar merchant dan konsumen dapat terhindar dari hal-hal yang merugikan sehingga tidak menimbulkan resistensi terhadap penggunaan kanal digital.

 

Apa peran Bank Indonesia terkait perlindungan konsumen?

Sebagai regulator, Bank Indonesia turut mengambil andil dalam upaya perlindungan konsumen sebagai bagian dalam melaksanakan perannya mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Namun demikian, masih terdapat masyarakat yang masih sulit membedakan peran antara Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Bank Indonesia menangani pengaduan konsumen yang mengalami permasalahan atau potensi kerugian terkait sistem pembayaran. Sementara OJK menangani pengaduan konsumen terkait layanan sektor jasa keuangan. Hal ini perlu diketahui oleh masyarakat sehingga apabila tidak mendapatkan penyelesaian dari Penyelenggara, masyarakat dapat mengadu permasalahannya ke regulator secara tepat.

Dalam upaya penanganan pengaduan konsumen, Bank Indonesia setidaknya memiliki 3 (tiga) peran yaitu memberikan informasi dan pemahaman kepada konsumen mengenai produk dan jasa yang diatur dan diawasi oleh Bank Indonesia, memberikan pemahaman kepada konsumen dan penyelenggara apabila terdapat permasalahan dalam penggunaan produk dan/atau jasa dari enyelenggara dan mempertemukan konsumen dan penyelenggara dalam rangka tindak lanjut penanganan pengaduan.

Sehubungan dengan hal tersebut, masyarakat dapat melakukan pengaduan langsung dengan mendatangi kantor Bank Indonesia dan dapat melakukan pengaduan tidak langsung dengan mengirimkan surat kepada Bank Indonesia, mengirimkan email melalui [email protected] atau menghubungi contact center BI Bicara 131.

 

Key takeaways

Literasi menjadi hal mutlak yang harus dimiliki oleh seluruh masyarakat sebagai konsumen baik pada saat sedang bertransaksi secara digital maupun ketika mengakses produk dan layanan dari lembaga keuangan formal. Dengan literasi yang baik, masyarakat mengetahui hak dan kewajibannya serta memiliki keberanian untuk melapor kepada Penyelenggara atau regulator ketika mengalami permasalahan.

Disisi lain, masyarakat dengan literasi yang baik juga lebih memahami potensi risiko baru di era digital sehingga akan lebih waspada dalam memanfaatkan platform digital dan tidak mudah terprovokasi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: