Afeksi Berliterasi Sebuah Urgensi

Afeksi Berliterasi Sebuah Urgensi

--

Kurniati

Kepala SMAN 1 Riau Silip

 

Berbicara tentang afeksi (rasa kasih sayang) dalam dunia pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari perkembangan emosi dan juga proses pembelajaran. Baik perkembangan emosi peserta didik, maupun bagaimana kemampuan emosi para pendidik dalam mendidik peserta didik dan tanggung jawabnya.

Sebab kualitas pembelajaran di sekolah sangatlah ditentukan oleh “rasa”, suasana belajar yang dibangun di sekolah dan efektivitas proses pembelajaran yang dilakukan. Tentunya suasana sekolah yang menyenangkan dan yang mampu membangun semangat warga sekolah menjadi syarat utama agar proses pembelajaran menjadi baik dan bermakna.

Dalam artian bahwa suasana internal di sekolah dengan segala interaksi sosial yang baik dan menampilkan semangat kebersamaan yang padu, menjadi salah satu penentu terbangunnya kualitas pembelajaran yang luar biasa di suatu sekolah.

Penguatan nilai-nilai afeksi (perasaan dan emosi yang lunak; KBBI) dalam keseharian di sekolah menjadi sangat penting, apalagi akhir-akhir ini dunia pendidikan merasakan perilaku para remaja, peserta didik, mulai mengalami penurunan rasa santun dan kemunduran karakter.

Melihat latar belakang ini, tentu dalam solusinya kita (para pendidik) harus segera mengambil sikap. Sebab terkait dalam tumbuh kembang kepribadian peserta didik sebagai aset penerus kepemimpinan bangsa. Terutama pemajanan afeksi dalam pembelajaran (proses berliterasi).

Berliterasi dalam hal ini adalah bagaimana kemampuan individu (peserta didik) dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidupnya. Literasi yang dimaksud bukan hanya kemampuan membaca atau menulis, namun lebih luas.

Terutama pada nilai rasa dan kualitas memahami informasi, pengetahuan, cara pandang peserta didik guna kebermanfaatan hidupnya. Tugas para pendidik tentu dituntut lebih ekstra dalam melakukan tugasnya sebagai fasilitator, motivator dan legislatornya 

Hal ini juga yang menjadi dasar pemerintah menggulirkan kebijakan Merdeka Belajar. Kebijakan Merdeka Belajar saat ini diberlakukan dalam memberikan ruang yang luas bagi sekolah untuk meningkatkan kualitas pembelajaran dengan menyediakan suasana belajar dan sistem yang lapang untuk mengondusifkan situasi sekolah.

Dalam proses pembelajaran di sekolah, anak-anak/peserta didik mengalami atau melalui beberapa tahap penilaian (dalam melihat peserta didik ini baik atau perlu bimbingan ekstra). Ada tiga ranah dalam pendidikan yang menjadi sasaran; ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik. Perilaku peserta didik terkadang sangat dipengaruhi daya pengetahuannya (kognitif) sekaligus akan diikuti pula dengan keterampilan (psikomotor) peserta didik.

Dengan kata lain, bahwa perilaku yang ditunjukkan seorang anak dipengaruhi oleh perasaannya dan bagaimana pengetahuannya. Jadi, jika kita mendapatkan seorang anak mengalami perilaku yang kasar, sering menyinggung perasaan orang lain, sukanya emosian, menunjukkan si anak pada ranah afektifnya terganggu.  

Ranah afektif (ranah emosinya) adalah sikap. Sikap peserta didik dalam bersekolah, menerima pembelajaran, sikap kepada guru, kepada teman atau orang lain. Pendidikan kita secara internal memasukan penilaian ini juga, terutama dalam Kurikulum 2013 yang lalu. Kalau dilihat dari ranah afektif tadi, seperti pengamatan, dan kehendak termasuk dari ranah emosi.

Berkaitan dengan kegiatan literasi, yaitu bagaimana kemampuan peserta didik dalam mengolah informasi dan pengetahuan dalam kesehariannya, ikut menentukan keberhasilan pendidikan di sekolah. Untuk itu, diperlukan pemahaman komunikasi yang baik yang penuh rasa kasih, agar peserta didik dapat menerima dengan baik pula.

Laksana bait lagu Ari Laso, “Sentuhlah dia tepat di hatinya, dia kan jadi milikmu tuk selamanya”. Para pendidik harus memiliki kemampuan mengelola emosi yang baik terlebih dulu (afeksi), kemudian dapat menularkan emosi yang baik pula kepada siswanya.

Artinya, peserta didik akan mampu melakukan pengamatan dengan baik jika diikuti emosi yang baik juga. Misalnya, kita melihat/memandang seorang anak yang nakal, jika dihadapi oleh seorang yang beremosi kurang baik, maka akan cepat marah.

Namun, jika seorang yang bijak, akan melihat kenakalan anak itu dari sudut pandang yang lain. Seorang yang bijak akan melihat dari arah yang berbeda untuk menentukan solusi pembelajaran tentang emosi. Dan ini dilakukan untuk mengambil tindakan terhadap kasus tersebut.

            Secara umum “emosi” dapat kita bagi menjadi beberapa bentuk. Definisi dari kata emosi adalah sebuah atau setiap tindakan atau pergolakan pikiran (perasaan, nafsu juga di sana, dan setiap keadaan mental yang hebat, dan meluap-luap).

Emosi juga merujuk ke dalam perasaan-perasaan yang khas misalnya psikologis dan serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Adapun pengertian perasaan/feeling adalah pengalaman disadari yang diaktifkan baik oleh perangsang ekternal ataupun bermacam keadaan jasmaniah.

Jadi, benang merah antara perasaan dengan emosi adalah kalau emosi dapat kita lihat berupa tindakan, kalau perasaan itu terpendam. Seseorang merasa sedih dan bahagia tanpa memperlihatkan kepada orang lain.

Jika diminta/ditanya baru menyalurkan perasaannya. Benang merah kedua kata sifat ini (emosi dan perasaan) ada pada praktis atau tidak praktisnya tindakan kita.

Lalu, bagaimana sebaiknya sikap orang tua/pendidik mengatasi anak/peserta didik yang memiliki sikap “emosian”?

Ada bentuk-bentuk emosi, ada yang positif dan negatif, dan sejumlah ahli psikologi mengelompokkan emosi itu ke dalam kelompok amarah, kesedihan, emosi rasa takut, kenikmatan, cinta dalam bentuk persahabatan, kasmaran, perasaan emosi terkejut, dan perasaan jengkel, juga rasa malu masuk ke dalam bentuk-bentuk emosi.

Menjawab pertanyaan tadi, tentu kita harus mengahadapinya dengan bijak. Pemahaman literasi kita tentang perkembangan mental anak harus terbentuk. Langkah-langkah yang kita hadapi harus menyikapi dengan baik.

Jika anak/peserta didik dalam posisi yang benar (misalnya, marah dan berteriak karena diperlakukan tidak adil) wajar anak meluapkan emosinya tadi.

Hanya saja kita harus mengarahkan perkembangan emosionalnya dengan benar. Misalnya, mengidentifikasi nama-nama label emosi tadi.

Jadi berikan waktu kepada anak untuk mengekpresikan perasaannya, kemudian kita berikan pengertian dan arahan (meredam marahnya). Kita berikan anak penguatan. Bahwa untuk menyatakan keresahan dalam dada tak perlu dengan berkata kasar atau bersuara keras.

Untuk menyatakan ketidaksetujuan tidak  perlu keras atau menggertak. Beberapa cara yang lebih baik dan elegan bisa untuk dilakukan. Hal ini dapat membuat anak/peserta didik berani untuk berbuat dan berbicara.

      Kemudian bagi para orang tua (keluarga) dapat juga menjadi konselor hati bagi anak atau peserta didik. Cobalah amati dan nilai dari intensitas anak. Misalnya, setiap pulang sekolah anak megadu, mengeluh pada orang tua tentang sekolah atau teman-temannya. Para orang tua dapat mengamati apakah yang salah anaknya atau “sekolahnya”.

Kemudian ajarkan anak untuk mengelola perasaannya. Kita arahkan bagaimana situasi benar atau salah. Memang kedudukan benar salah juga relatif sesuai situasi akan tetapi akan ada garis tengah dalam setiap segi. Hal ini juga berlaku untuk setiap masalah yang kita hadapi.

Kita harus mengedepankan “baik” atau “benar” terlebih dahulu, tentu hal ini pun ada ilmunya. Sebab sesuatu yang benar belum tentu baik, dan yang baik belum tentu benar jika dihadapkan pada suatu posisi.

Bagaimana solusi? Ya, miliki kemampuan literasi yang mumpuni. Sikap kita selaku pendidik/orang tua harus bijaksana untuk melihat permasalahan.

Jika ditanyakan bagaimanakah hubungan emosi dengan tingkah laku? Apakah emosi yang menimbulkan tingkah laku ataukah tingkah laku yang menimbulkan emosi. Hubungan mendasar antara emosi dan tingkah laku adalah emosi memengaruhi tingkah laku.

Beberapa pendapat mengenai ini menghasilkan teori emosi. Kalau menurut teori kecerdasan emosional (Daniel Goleman) ada sejumlah ciri pemikiran sebagai bukti bahwa emosi ini ternyata memainkan peranan penting dari pola berpikir kita maupun pola tingkah laku individu.

Ada 5 ciri atau hubungan antara emosi dengan tingkah laku tadi, yang pertama respon yang cepat tetapi ceroboh, ini membuktikan bahwa kita emosi duluan baru berpikir. Bahwa pikiran yang emosional itu jauh lebih cepat daripada pikiran yang rasional.

Karena pikiran emosional langsung melompat bertindak tanpa mempertimbangkan yang dilakukannya. Ini membuktikan orang yang belum matang emosinya.

Kedua mendahulukan perasaan baru pikiran. Ini ada dua alternatifnya. Pada dasarnya pikiran rasional itu membutuhkan waktu sedikit lama dari pikiran emosional. Jadi dorongan pertama itu dorongan hati, baru kemudian dorongan pikiran. Dalam urutan yang cepat ini seharusnya perasaan itu duluan atau serempak dengan pikiran.

Ketiga hubungan seseorang dengan orang lain dalam melakukan realitas sebagai realitas simbolik. Maksudnya jika kita katakan pikiran atau logika itu emosional, disebut logika hati dan logika pikiran. Artinya, kita memandang unsur-unsur yang mengandung realitas sama dengan realitas itu sendiri.

Perumpamaan dalam kegiatan mendengar orang membacakan puisi, pantun, novel, menonton film dan opera. Kegiatan itu ditujukan ke pikiran emosional kita. Misal kita nonton film televisi lalu emosi kita berjalan, kita marah-marah.

Lalu ciri keempat, masa lampau diposisikan ke masa sekarang. Jadi dari sudut pandang ini apabila suatu ciri sekarang ini sama dengan ciri masa lampau yang mengandung kuatan emosi. Maka bayangan ini terungkit dan memicu perasaan emosi. Misalnya, menyaksikan acara pemakaman seseorang dan kemudian teringat bahwa kita pernah juga kehilangan seperti itu dan lain-lain latar belakang.

Kelima; realitas yang ditentukan keadaan, maksudnya pikiran rasional pada diri individu bekerjanya ditentukan oleh perasaan tertentu yang menonjol pada saat itu. Jika kita mengawali pekerjaan dari rumah dengan perasaan tidak senang maka akan terbawa di tempat kerja.

Pada akhirnya, jika kita bekerja di sekolah para siswa akan terkena akibat perasaan kita. Itu artinya kita belum bisa mengontrol emosi dengan benar. Sebaiknya pikiran kita “amankan” dulu, baru melakukan tindakan. Orang bijak mengatakan; kita mengambil keputusan itu jangan pada waktu yang sama. Silakan ditunda dulu, mengambil nafas dulu, atau perenungan sebentar baru memberi keputusan. Seperti membuat rencana dulu baru kita bergerak.

Berbicara tentang rasa, adalah membicarakan masalah hati yang telah jauh masanya terbentuk oleh perkembangan emosi dan pembelajaran seseorang. Pernah dalam suatu waktu saya bertanya kepada siswa didik SMA, usia menjelang 16 tahun (biasanya mereka mengalami masa transisi, Ibarat pepatah mengatakan serbet terlalu kekecilan, taplak meja kebesaran, untuk para siswa ini).

Mereka belum mencapai seperti apa mereka. Pertanyaannya; apa penyebab mereka meletakkan emosi yang tidak pada tempatnya. Misalnya, mengalami cemberut atau tidak senang kepada orang tua, jawaban mereka karena mereka terpengaruh dengan lingkungan. Apa yang dimaksud dengan terpengaruh oleh lingkungan?

Artinya para orang dewasa yang ada di sekeliling mereka telah memberikan contoh, atau membiarkan kasus berjalan dengan amannya. Sehingga mereka dapat menduplikasi emosi yang sama bahkan pada semua situasi atau kasus yang berbeda dengan cara yang tidak selayaknya. Untuk inilah perlunya penguatan afeksi yang baik dalam setiap implementasi sikap menjadi sangat penting. Salah satu penguatan itu melalui pemajanan bacaan, tontonan, pertunjukan, dan sajian yang bermutu, berliterasi yang benar dan baik.           

Dengan demikian, diharapkan kepada bapak/ibu guru di sekolah dan orang tua di rumah mohon tetap berliterasi dan luangkanlah waktu ke anak didik kita dengan baik dan benar. Agar mereka dapat mengekspresikan, mengendalikan diri mereka dengan baik. Jangan kita bantah atau kita persempit ruang gerak mereka, atau terlalu pula kita bebaskan. Pembekalan yang baik bagi mereka adalah penanaman sifat dan perilaku yang baik sejak dini, agar karakter terpuji menjadi jati diri.(**)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: