Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing: Perlukah Memilih?

Bahasa Indonesia, Bahasa Daerah, dan Bahasa Asing: Perlukah Memilih?

Vindi Kaldina, M.A. ,Dosen Universitas Bangka Belitung--

Oleh Vindi Kaldina, M.A.
Dosen Universitas Bangka Belitung

Salah satu hal yang saya sadari setelah bertahun-tahun mengajar bahasa Inggris di pulau ini adalah bahwa kompetensi berbahasa Indonesia yang rendah selalu menjadi halangan besar bagi peserta didik saya untuk menguasai bahasa Inggris. 

Sangat terlihat bahwa peserta didik yang dapat menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar dalam lisan maupun tulisan biasanya tidak mengalami masalah berarti dalam mempelajari bahasa Inggris, karena logika sistem bahasa yang telah terpatri di otak mereka memudahkan mereka untuk mentransfer tata bahasa kalimat bahasa Inggris ke dalam bahasa Indonesia dengan relatif mudah. 

Sebaliknya, peserta didik yang kesulitan berbahasa Indonesia dengan baik dan benar, biasanya akan kesulitan dalam mempelajari bahasa Inggris. Tidak terbiasanya para peserta didik ini dalam menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam ragam lisan maupun tulisan, adalah konsekuensi dari kecenderungan untuk menjadikan bahasa daerah sebagai moda komunikasi utama, bahkan dalam lingkungan sekolah atau kampus. Karenanya, bahasa Indonesia menjadi sesuatu yang berjarak dari keseharian mereka.

Saya banyak melihat peserta didik saya melakukan kesalahan dasar dalam berbahasa Indonesia, baik ketika melakukan presentasi maupun dalam menulis esai. Kesalahan-kesalahan dasar yang sering dilakukan para peserta ajar ini adalah di antaranya, kesalahan pada tingkatan kelas kata hingga pada struktur kalimat, contohnya mengucapkan atau menulis kalimat tanpa subjek atau tanpa predikat. Padahal, adalah pengetahuan dasar bahwa sebuah kalimat harus mengandung minimal satu subjek dan satu predikat. 

Karena tidak akrab dengan bahasa Indonesia standar, bahasa yang mereka gunakan dalam presentasi maupun esai formal adalah bahasa Indonesia lisan yang tidak baku. Jangan salah mengira bahwa saya tidak mendukung pemakaian bahasa Indonesia non-standar, apalagi dalam pergaulan sehari-hari. Guru besar sastra Inggris Universitas Sanata Dharma, Profesor Soepomo Poedjosoedarmo, menjelaskan bahwa terciptanya berbagai ragam bahasa Indonesia lisan dimungkinkan oleh sikap akomodatif dari penuturnya yang menginginkan percakapan yang lebih lancar, santai, dan akrab. Hal ini berkonsekuensi pada terjadinya pemaduan idiolek-idiolek khas milik tiap individu, ditambah unsur-unsur lain yang berasal dari perbedaan usia, kelas sosial, jenis kelamin, etnisitas, dan sebagainya yang terus memperkaya ragam bahasa Indonesia lisan di nusantara. Kedinamisan ini justru mengukuhkan posisi bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu nusantara. 

Namun, mendukung inovasi-inovasi dalam ragam lisan bahasa Indonesia bukan berarti melupakan pentingnya kemampuan untuk menggunakan bahasa Indonesia standar secara aktif dalam lisan maupun tulisan. Status bahasa Indonesia standar sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan nasional dan bahasa yang diatur dalam UU No. 24 Tahun 2009 Pasal 29 menunjukkan tingginya derajat bahasa ini di Indonesia. Bisa dikatakan, status bahasa Indonesia sebagai pengantar dalam menguasai ilmu memberikan penuturnya akses yang luas kepada ilmu pengetahuan. 

Secara tidak langsung, penguasaan bahasa Indonesia yang baik dan benar juga menunjukkan tingkat keterdidikan seseorang dalam masyarakat Indonesia. Ketidakmampuan seseorang dalam menggunakan bahasa Indonesia standar dalam lisan dan tulisan, terutama dalam lingkungan akademis atau ruang lingkup profesional, akan membuat orang-orang di sekitarnya bertanya-tanya tentang tingkat pendidikannya. Mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dalam konteks yang tidak tepat dapat menurunkan penilaian lawan bicara terhadap kita.

Berbeda dengan bahasa Indonesia dan banyak bahasa daerah lainnya, bahasa Bangka adalah jenis bahasa lisan yang tidak pernah secara formal diajarkan di sekolah-sekolah. Bahasa daerah ini tidak dimasukkan ke dalam muatan lokal kurikulum sekolah dikarenakan minimnya kosa kata yang dimilikinya. Meskipun begitu, bahasa Bangka memiliki posisi yang sangat kuat dan tak tergantikan dalam masyarakat Bangka, serta tidak terindikasi akan punah dalam waktu dekat.  Ini adalah hal yang sangat baik, karena sebuah bahasa menyimpan banyak informasi sosial, budaya, dan sejarah dari komunitas penuturnya, sehingga menjadi kekayaan nasional yang berharga dan tak tergantikan. 

Namun, masalah dapat timbul jika bahasa daerah dijadikan satu-satunya bahasa yang dikuasai dengan baik, tanpa adanya keinginan yang kuat untuk mempelajari bahasa nasional, terutama ketika bahasa nasional tersebut telah dinisbatkan sebagai bahasa pengantar pendidikan. 

Terdapat berbagai perbedaan dalam bahasa Bangka dan bahasa Indonesia yang dapat menimbulkan ambiguitas makna bagi lawan bicara yang berasal dari daerah lain. Misalnya saja frasa “Jadi, dak?” yang mungkin terdengar seperti meminta konfirmasi apakah sesuatu jadi dilaksanakan atau tidak, namun kenyataannya berarti “Apakah boleh?” Contoh lainnya adalah frasa “dak retak” yang dapat disalah pahami sebagai “tidak retak,” padahal arti sebenarnya adalah “tidak mempedulikan.” Kata bertunang dalam bahasa Bangka berarti pacar, bukan bertunangan. 

Frasa “lah sude” bukan berarti “telah sudah,” melainkan “sudah selesai.” Selain itu, seperti bahasa lisan lainnya, bahasa Bangka memiliki fleksibilitas yang luar biasa dalam hal struktur kalimat, sehingga penuturnya tidak wajib mengikuti aturan struktur kalimat yang benar untuk dapat dipahami lawan bicaranya. Faktor ini, ditambah keengganan untuk mempelajari bahasa Indonesia yang baik dan benar, menjadi penghambat bagi mereka untuk menguasai bahasa asing yang tentunya membutuhkan pengetahuan tata bahasa yang baik.

Bukan hanya di Bangka, rendahnya kompetensi berbahasa Indonesia telah menjadi masalah umum di negara ini. Karenanya, Rustam Effendi dan Fatchul Mu’in melakukan sebuah penelitian pada tahun 2018 untuk mengetahui alasan mengapa kompetensi bahasa Indonesia pada generasi muda Indonesia semakin menurun. Mereka berfokus pada faktor-faktor penghambat yang tidak berkaitan dengan sisi linguistik dari bahasa itu sendiri. Dalam penelitian tersebut, mereka menemukan enam penghalang non-linguistik yang menghambat dalam pembelajaran bahasa Indonesia. 

Penghalang pertama adalah kontak antar bahasa di Indonesia. Telah umum dipahami bahwa terkadang para pengajar lokal lebih memilih untuk menggunakan bahasa daerah dalam mengajar. Ini dilakukan meskipun mereka mengetahui bahwa salah satu fungsi bahasa pemersatu yang terlahir pada tanggal 28 Oktober 1928 ini adalah sebagai bahasa pengantar dalam institusi pendidikan. Salah satu tujuan menggunakan bahasa daerah dalam pembelajaran adalah untuk mempersempit jarak psikologis sehingga memudahkan peserta didik dalam menyerap ilmu yang diajarkan, namun efek negatifnya adalah peserta tidak juga terbiasa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar hingga dewasa. 

Penghalang kedua adalah sikap orang Indonesia terhadap bahasa Indonesia itu sendiri. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: