Perjuangan Depati Amir di Keresidenan Timor

Perjuangan Depati Amir di Keresidenan Timor

Akhmad Elvian - Sejarawan dan Budayawan, Penerima Anugerah Kebudayaan--

Kebijakan buffer policy rupanya dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda bukan saja karena faktor ketakutan atas ancaman pasukan Tupasses dan sekutunya di Noemuti dan Lifao akan tetapi dilakukan juga karena ketakutan akan ancaman komunitas muslim yang ada di Kupang yang umumnya berasal dari tokoh-tokoh dari berbagai kerajaan tradisional di nusantara yang dibuang dan diasingkan di Kupang.

Tokoh-tokoh yang dianggap sebagai ancaman oleh pemerintah Hindia Belanda tersebut diantaranya Depati Amir dan Hamzah atau Cing dari pulau Bangka yang datang di Kupang pada tahun 1851, Aburrachman dari Benggala yang datang ke pulau Timor melalui Sumbawa dan merupakan pendiri pertama masjid Batubesi, Kupang pada tahun 1812, Pangeran Suryo Mataram, pejuang dalam perang Diponegoro yang dibuang ke Kupang pada tahun 1830. Di samping itu terdapat bekas anak buah Pangeran Diponegoro yang lain yang dibuang ke Kupang yaitu Pangeran Ali Basyah Abdul Makhmud Gandakusumo. 

Pada Tahun 1853 atau sekitar 2 tahun berada di pengasingan, Amir pernah mengajukan permohonan melalui surat kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda  di Batavia (surat dari Residen Timor tanggal 11 Maret 1853 Nomor 14/1 (ANRI: Mgs. 4 Juli 1853 Nomor 1497) untuk dipindahkan lokasi tempat hukumannya ke pulau Jawa menggantikan pulauTimor, serta memohon untuk diizinkan pindah dengan didampingi ibunya Dakim, istrinya Imoer, anak angkatnya  Baidin serta pamannya Awang. Pada bagian penghujung surat yang ditulis Amir tersebut dituliskan kata-kata: “... Djikalau boleh barangkali adjalku sudah sampai harus meninggalkan dunia ini, dimana saya suka akan menyimpan tulang-tulang saya....” Surat ditandatangani Amir dengan goresan tangan menggunakan rangkaian huruf Arab: Alif, Mim, Ya dan Ro dan terbaca “Amir”, kemudian surat ditulis di Kupang tanggal 25 Februari Tahun 1853. Tentu saja permohonan pindah Amir tersebut ditolak oleh Pemerintah Hindia Belanda. 

Peran Amir di Nusa Tenggara khususnya di pulau Timor yang terpenting adalah dalam penyebaran Islam. Agama Islam pada masa-masa sebelumnya telah berkembang di pulau Solor, Adonara, Lomblen, Pantar, Alor dan Flores, kemudian pada abad ke 19, Islam juga meluas ke pulau Timor dan Sumba. Tokoh-tokoh agama Islam yang berjasa dalam mengembangkan agama Islam di pulau Timor adalah Syarif Abubakar bin Abdurrachman Alqodri, Aburrachman dari Benggala, Pangeran Suryo Mataram, Pangeran Ali Basyah Abdul Mahmud Gandakusuma, Depati Amir Bahren, Hamzah Bahren, dan K.H. Muhammad Azzad bin Alwan. Amir Bahren dan Hamzah Bahren adalah tokoh agama dari pulau Bangka, karena terlibat perang dengan pemerintah Belanda di Bangka mereka dibuang ke Kupang. Ia berjasa menyebarkan agama Islam di Kupang dan mendirikan masjid Bonipoi di Kupang (Widyatmika, dkk, 1978/1979:20-21).

Syiar agama Islam yang dilakukan oleh Amir dan Hamzah atau Cing bin Bahren tidak hanya terbatas di kampung Airmata dan Bonipoi semata tetapi dilakukan juga pada daerah lain di pulau Timor. Karena pesatnya perkembangan komunitas muslim di kampung Airmata dan keterbatasan wilayah kampung Airmata, maka keluarga Amir kemudian pindah ke Bonipoi dan mereka kemudian membangun masjid di Bonipoi yang diberi nama Masjid Al Ikhlas.

Berdasarkan keterangan lisan masyarakat, di desa Melaka terdapat sebuah mushola atau surau yang disebut penduduk setempat dengan tempat tuan Amir sembahyang atau sholat. Tidak menutup kemungkinan, bahwa dalam dakwah penyebaran Islam, Amir dan Hamzah atau Cing bin Bahren juga memberikan nasehat dan petuah bagi raja-raja Timor yang sedang berjuang melawan pemerintah Belanda pada masa itu tentang siasat dan strategi perang yang harus dilakukan dalam menghadapi pasukan Belanda sebagaimana perlawanan yang telah mereka lakukan di pulau Bangka.  

Berdasarkan surat dari residen Timor, Kupang, tanggal 21 Oktober 1867, Nomor 371 A, disebutkan, bahwa dari beberapa orang yang dibuang ke Timor berdasarkan besluit 4 Februari 1851 Nomor 3 dan  besluit 22 April 1851 Nomor 21 dinyatakan, bahwa orang-orang yang masih hidup dipembuangan yaitu Amir, Ipa, Sena, Dindip, Baidin, Tjing, dan Akip, artinya beberapa orang sudah meninggal di pengasingan Kupang. Berdasarkan laporan residen Timor, tanggal 21 Oktober 1867 atau setelah 16 tahun di pengasingan dapat diketahui yang telah meninggal adalah ibunya Amir, Dakim, istrinya Imoer, dan pembantunya Mia. 

Selanjutnya Amir yang sudah berusia lanjut sekitar 70 Tahun dan telah menjalani pengasingan  diKupang keresidenan Timor selama 17 Tahun, pada Tahun 1968  mengajukan permohonan pindah untuk menjalani hukuman di tempat asalnya pulau Bangka.

Permohonan pindah untuk menjalani hukuman ke pulau Bangka  kemudian ditolak pemerintah Hindia Belanda berdasarkan besluit tanggal 8 Maret 1869 Nomor 22  (ANRI: 24 Desember 1868 Nomor 22702, Bt 8 Maret 1869 Nomor 22, T29 Agustus 1895/11015). Salahsatu alasan penolakan Belanda adalah karena pengaruh Amir untuk memunculkan potensi pemberontakan di Keresidenan Bangka masih sangat besar. 

Berdasarkan Surat dari Residen Timor kepada Gubernur Jenderal, Kupang 28 September 1869 Nomor 669 (ANRI: agenda 8-11-1869 Nomor 20378): Melanjutkan surat saya tertanggal 24 September 1869 Nomor 661, dengan ini saya beritahukan kepada anda yang terhormat, bahwa pemberontak Amir yang berdasarkan besluit pemerintah 4 Februari 1851 Nomor 3 selama hidupnya dibuang ke Timor pada hari ini 28 September 1869, karena usia lanjut dan sakit, meninggal yang mana berita kematian ini telah diberitahukan kepada Residen Bangka. Amir meninggal di Kupang dalam usia 71 Tahun.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Sumber: